"Selamat Datang Di Blog Pro Ecclesia Et Patria"

Selasa, 19 Maret 2013

JALANAN ADALAH GURUKU UNTUK MELAKUKAN TERIAKAN LANTANG


 Inilah Jalanku….
Hari ini tanggal 3 april 2012 suatu hari dimana telah tiga hari yang lalu tanggal 30 maret 2012, saya telah menyelesaikan studiku dibangku kuliah dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan di jurusan Bimbingan Konseling. Tentu hal tersebut merupakan hal yang paling indah dan membahagiakan dalam hidupku dan bagi kedua orang tuaku yang telah bersusah payah berjuang membiayaiku kuliah hingga selesai meraih S1. Namun disi lain hatiku merasa berat untuk meningalkan dunia mahasiswa yang dulu telah lama ku lalui dengan penuh tantangan dan dinamika,,,,,terlebih meninggalkan sahabat-sahabatku di perhimpunan, IMK.
Sudah tiga hari ini aku menyendiri dan merenung di kos,,,,,,,,,mengingat kembali kenangan-kenangan akan indahnya masa-masa dunia mahasiswa terlebih ketika konsolidasi bersama teman-teman Kelompok Cipayung Plus (PMKRI, GMNI, HMI, PMII, GMKI, FMN, dll) untuk melakukan aksi gerakan bersama dijalanan,,,,,,itulah dunia ku jalani saat itu, diskusi dan konsolidasi,,,,,,
24 Februari 2010 merupakan tonggak bagi kami sebagai kader baru perimpunan untuk bangkit kembali menghidupkan PMKRI ditengah segala keterbatasan baik kader maupun fasilitas marga yang sebelumnya Vakum, dikepemimpinan Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium Saudara Hendrikus Adam selama dua tahun 2008-2010. Keterbatasan bukanlah suatu alasan untuk menyurutkan langkah dan semangat kami untuk perubahan.  Saat sulit inilah spirit kami berkobar-kobar, RUAC yang menjadi forum tertinggi perhimpunan di cabang meski hanya dihadiri segelintir kader hanya 14 orang (Lidya, Hen, Rigen, Adam, Willy, Apin, Leo, Riko, Eras, Iren, Hendro, Coni, Andesa dan yogi) hingga RUAC berakhir dengan terpilihnya saudari Lidya Natalia Sartono sebagai ketua presidium baru PMKRI Cabang Pontianak periode 2010-2011 dan dilantik pada tanggal 17 april 2010 di rektorat Universitas Tanjungpura.
Setelah perlantikan usai kepengurusan melakukan langkah-langkah strategis guna menghidupkan PMKRI kembali, diantaranya melakukan audiensi dengan berbagai pihak diantaranya Uskup Agung Pontianak, Gubernur Kalbar, Walikota Pontianak, senior dan alumni. Untuk mengaktifkan margasiswa, menghidupkan listrik marga, untuk persiapan perlaksanaan Kongres Nasional XXVIII dan Sidang MPA XXVII PMKRI tahun 2011. Pelaksanaan POF dan Raker sebagai awal untuk menyatukan persepsi semua kepengurusan guna menyusun program kerja yang akan dilaksanakan satu tahun kepengurusan 2010-2011. Sebagai Presidium Hubungan Antar Perguruan Tinggi saat itu hal yang pertama harus ku lakukan adalah melakukan komunikasi dan mengumpulkan semua Ketua-ketua organisasi mahasiswa katolik internal kampus guna konsolidasi dan mempererat silahturahmi dalam membangun gerakan mahasiswa katolik di Pontianak, terutama untuk perekutan anggota baru PMKRI diantaranya IMK, KMK Untan,KMK UPB dan  Bem STP.
Kedua membentuk komisariat kampus sebagai ujung tombak pengembangan basis kader dikampus (meski tidak berjalan seperti diharapkan). Ketiga melakukan diskusi lintas kampus,,keempat membangun gerakan internal kampus untuk infilterisasi kader-kader PMKRI dapat mengisi Post-Post dan lini-lini penting organisasi mahasiswa lainya yang ada dikampus agar kader PMKRI diperhitungkan disetiap kampus.
Ketika Perseteruan Mengasah Kedewasaan…!!!
Awal bulan desember menandai sebentar lagi akan berakhir tahun 2010 suasana dinamika internal perhimpunan mulai terasa menjelang memasuki suksesi RUAC terutama dilingkaran Pengurus harian cabang hingga para anggota perhimpunan terkait dengan pergantian ketua presidium sebagai pimpinan perhimpunan maklumlah jabatan sebagai ketua presidium merupakan jabatan cukup prestisius untuk caliber mahasiswa. Hal ini dimulai dengan munculnya calon-calon ketua presidium yang ingin maju. Berbagai manuver dan strategi yang dilakukan untuk meyakinkan anggota agar dapat dirangkul untuk mendulang suara, maka munculah dua kubu kelompok dalam menjelang pelaksanaan RUAC  tanggal 26 Februari yaitu kubu Erasmus CA dan kubu Leonard Nova Cristy.
 Dalam diskusi kecil yang bertempat di rumah Frans welly winarno sebelum libur natal tahun 2010 yang dihadiri apin, willy, rudi, dan leo merekomendasikan willy maju sebagai calon ketua presidium,,namun dalam perjalanan tidak ada respon sementara eras setiap hari leleuasa bergelirya pada anggota untuk suksesi kampanye.  Setelah libur natal selesai sekitar tanggal 11 januari 2011, maka ketiga orang tersebut berdiskusi kembali bertempat di asrama sintang untuk membicarakan siapa sebenarnya yang akan dicalonkan untuk menandingi Erasmus sehingga kesimpulan akhir dari diskusi tersebut mendorong Leonard Nova Cristy sebagai calon ketua presidium dan pembagian tugas-tugas untuk pemenangan sebagai berikut apin bertugas merumuskan strategi pemenangan, sebagai inteljen dan membangun manajemen konflik, dan rudi tugas membangun basis masa dan agitasi pada anggota sedangkan leo aktif kampanye secara sistematis dan tertutup.
Seiring perjalanan waktu perseteruan yang masih internal menjadi terbuka ketika rapat pleno dewan pimpinan cabang sebagai forum evaluasi kepengurusan yang dilaksanakan tiga bulan terakhir. Ditandai dengan banyak program kerja diantara jajaran presidium tidak terlaksana sementara periode kepengurusan segera berakhir, sorotan terhadap masalah advokasi diperbatasan yang akan dilakukan oleh beberapa anggota PHC secara diam-diam menjadi polemic yang sangat tajam dan persoalan kapan RUAC akan dilaksanakan menjadi pertentangan. Menurut Erasmus yang saat itu bersikeras bahwa RUAC dilaksanakan tanggal 26 ferbuari yang di dasari wacana saat POF. Sementara leo dan apin menepis argument tersebut bahwa tidak ada tercantum dalam dukumen keputusan POF  tentang pelaksanaan RUAC dan jika dipaksakan dilaksanakan tanggal 26 Pebruari 2011 maka RUAC tersebut cacat hokum karena bertentangan dengan AD/ART dan ARTC. Dalam Anggaran Rumah Tangga Cabang  pasal 4 ayat 3 mengatakan bahwa “Mandataris dipilih dalam RUAC untuk jangka waktu kepengurusan 1 (satu) tahun terhitung sejak pelantikan” hal ini didasari bahwa kepengurusan belum sampai genap satu tahun jika ini dipaksakan maka dapat dikatakan RUAI ( Rapat Umum Anggota Istimewa) namun jika RUAI dilaksanakan pun tidak ada dasar hokum karena Ketua Presidium & PHC tidak melanggar AD/ ART dan ARTC serta peraturan-peraturan lainya  yang dianggap sah dalam perhimpunan. Pasal tersebutlah yang kurang di pahami oleh ketua presidium Lidya Natalia Sartono saat itu sehingga memberikan catatan bahwa RUAC bisa dilaksanakan jika seluruh PHC segera membuat laporan pertanggungjawaban kepada ketua presidium.
Dari catatan keputusan ketua presidium tersebutlah ada diantara beberapa PHC (Leo,apin dkk) merasa tidak puas, dan merasa kepengurusan akan di RUAI  dengan tidak memiliki alasan dasar hokum yang kuat dan bertentangan dengan ARTC. Sehingga melakukan/memainkan manuver terselubung melalui inteljen dengan membangun manajemen konflik di internal perhimpunan dengan isu rencana advokasi diam-diam oleh beberapa orang jajaran PHC di perbatasan tampa sepengetahuan PHC lainya dan anggota dan dianggap sebagai “ Penghianatan Pada Perhimpunan karena dapat membahayakan perhimpunan secara umum”. Hal inilah yang menandai konflik menjadi terbuka sampai pada anggota dimana perseteruan antara Erasmus dengan lidya, willy dan Hendrikus saat pembentukan kepanitiaan RUAC. Dengan terbentuknaya kepanitian pelaksanaan RUAC dengan PPO sebagai penanggungjawab program kerja terjadi pertentangan babak baru dimana banyak keputusan kepanitian tampa sepengetahuan PPO  (Leo) saat itu sehingga PPO merasa di belakangi oleh sekjen (Eras). Dengan ambisi dan keyakinan eras yang kuat eras ingin memainkan peran penting di kepanitiaan agar mendapatkan simpati dari panitia dan anggota. Dengan menentukan tema, tempat pelaksanaan dan mekanisme RUAC ditentukan saat rapat sekjen dan panitia inti di asrama Simpangk Ketapang. Yang seharusnya hal-hal priinsipil tersebut dibahas pada rapat presidium harian cabang. Sehingga hasil keputusan rapat tersebut dinyatakan batal demi hokum dan tidak sah oleh ketua presidium karena tidak sesuai prosedur dan mekanisme perhimpunan.
Adu Strategi dan  Taktik,,,,,,,,
Hampir tiga minggu menjelang RUAC suasana perseteruan antar kubu untuk memperebutkan pengaruh pada anggota semakin terbuka terbukti dengan aktivitas-aktivitas kelompok masing-masing kubu. Kubu eras mulai nampak dengan strategi ingin mendapatkan dukungan dari alumni, menjanjikan jabatan pada anggota yang mendukungnya, dan memainkan isu antar daerah dan berkunjung ke kos-kos anggota dan kumpul-kumpul di salah satu kafe di gajah mada dan sekitaran tol Kapuas 1. Kubu Leo membangun strategi dengan pembagian tugas tim tiga sebagai tim pemenangan (pemikir,strategi dan lapangan eksekusi)  dengan asrama sintang sebagai tempat basis dimulai mengumpulkan anggota perangkatan (kera, beruk, sapi, kambing, tikus) dengan membentuk coordinator, melakukan agitasi pada anggota, kampanye dari kos ke kos, kampanye dari kampus ke kampus, penyusunan strategi menggagalkan RUAC tanggal 26 pebruari yang cacat hukum, pembentukan tim khusus pelaksanaan RUAC yaitu tim penjemput anggota, inteljen, team pimpinan sidang Ad hock, tim penculik anggota, tim pengacau RUAC dan tim propaganda dan SMS sebelum pemilihan. Malam tanggal 25 perbuari 2011 diadakan rapat terakhir PHC guna menyerahkan laporan LPJ masing-masing jajaran presidium namun sampai H-1 pelaksanaan RUAC laporan belum diserahkan PPK dan sekjen pada ketua presidium. Sehingga ketua presidium menawarkan untuk mengundurkan pelaksanaan RUAC namun sekjen memaksakan untuk tetap dilaksanakan esok harinya sehingga rapat malam itu berantakan tidak ada keputusan yang dihasilkan dikarenakan sekjen marah besar merasa tidak terima jika pelaksanaan RUAC di tunda sambil menunggu penyerahan laporan PPK.
Esok hari tepat tanggal 26 pebruari 2011 kira-kira pukul 07.00 wib semua anggota berkumpul di aula margasiswa dan melaksanakan misa pembukaan RUAC yang dipimpin oleh pastor Robini Mardianto OP pastor moderator mahasiswa. Setelah misa selesai belum ada tanda-tanda bahwa RUAC akan dibuka di karenakan ketua presidium belum datang dan kondisi setiap anggota saling bertanya satu dengan yang lainya apakah RUAC jadi dilaksanakan?. Kira-kira pukul 11.00 wib ketua presidium Lidya Natalia Sartono datang kemarga dan diminta untuk membuka sidang, setelah prosesi sidang kehormatan pembukaan RUAC di bacakan oleh pembawa acara saulus. Semua jajaran PHC maju ke meja pimpinan sidang dan ketua presidium menyatakan tidak akan membuka pelaksanaan RUAC dikarenakan cacat hukum dan laporan PHC belum selsai sehingga menimbulkan suasana tegang dalam ruangan.  Sehingga PHC mengadakan lobi seperti yang diusulkan salah satu anggota rudi cs,  namun tidak menghasilkan keputusan dan RUAC tetap dibatalkan/ditunda. Sampai-sampai saat itu hadir pastor moderator sebagai penengah untuk mencari solusi terbaik agar tidak mengecewakan semua anggota. Setelah melalui penjelasan ketua presidium para anggota pun bubar meninggalkan ruangan sidang dan keributan pun mulai diluar marga dikarenakan eras dan riko emosi.
Satu  minggu setelah kejadian tersebut berlalu dan keadaan pun mulai mereda ketua presidium dengan arif dan bijaksana mengumpulkan kembali PHC dan anggota sehingga menghasilkan keputusan bahwa akan dilaksanakan Dies Natalis PMKRI Pontianak ke 50 (pesta emas) dan RUAC akan dilaksanakan 4 april 2011. Dalam pelaksanaan RUAC tanggal 4 april yang direncanakan hanya 3 hari namun berlangsung satu minggu dengan dinamika yang luar biasa sehingga beberapa kali dedlock. Yang pada akhirnya mengukuhkan/terpilihnya saudara Leonard Nova Cristy sebagai ketua presidium periode 2011-2012 dengan suara unggul 42 suara dari  Erasmus 33 dan willy 4 suara sedangkan satu suara abstain.
Babak Baru Perhimpunan.
Tanggal 5 mei 2011 merupakan babak baru perhimpunan dengan dilaksanakanya pelantikan kepenggurusan PMKRI cabang Pontianak 2011-2012 di aula margasiswa yang dilantik oleh sekjen pengurus pusat Emanuel Herdiyanto MG. Para personil kepengurusan yang baru tersebut tidaklah jauh berbeda  dengan kepengurusan yang lalu hanya saja posisi yang berubah kepengurusan tersebut terdiri dari Leonard Nova Cristy (ketua presidium), Franz Willy Wiinarno (Sekjen), Teresia Nika (Bendahara), Bernadus Apin (PPO), Yenni Dhi Putria (PPK), Martinus Rudi (PGK), Abelnus (PHPT) dan Joni pangarara (PHLN). Tugas kepengurusan ini sangat berat dimana tahun 2011 pmkri pontianak sebagai tuan rumah agenda nasional dua tahunan yaitu kongres nasional XXVIII & sidang MPA XXVII yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam PMKRI ditambah lagi dinamika internal masih terasa pasca RUAC lalu, semangat tiga benang merah perhimpunanlah yang selalu kami pegang bersama dalam aktivitas keseharian di perhimpunan sehingga hubungan dengan sesama anggota, alumni terjaga dengan baik sehingga kami mampu menjalankan segala program kerja kepengurusan dengan baik termasuklah mensukseskan pelaksanaan Kongres Nasional XXVIII & Sidang MPA XXVII PMKRI dengan Bernadus Apin (PPO) sebagai ketua panita pelaksana.  Hal ini membuktikan bahwa tahun 2011 pontianak sebagai tempat dimana Mahasiswa Katolik Republik Indonesia berbicara untuk kehidupan dan perkembangan berbangsa dan bernegara melaui ketetapan-ketetapan strategis dalam sidang MPA sekaligus sejarah bagi mahasiswa katolik Kalimantan barat umumnya dimana untuk pertama kalinya sebagai tuan rumah kongres nasional dan sidang MPA dimana PMKRI berusia 62 tahun. PMKRI merupakan salah satu organisasi mahasiswa di republik ini memiliki andil besar dalam menentukan sejarah perjalanan bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Tanggal 2 juni 2012 merupakan masa periode kepengurusan 2011-2012 berakhir dengan ditandai serah terima jabatan dari ketua presidium demisioner kepada ketua presidium terpilih periode 2012-2013 saudara martinus rudi sekaligus pelantikan kepengurusan baru perhimpunan. Peristiwa tanggal 2 juni inilah menjadi bagian tersendiri bagi saya dimana tidak lagi terlibat aktif dalam dinamika kehidupan kemahasiswaan sekaligus akhir saya dari kepengurusan PMKRI dan akhir menjadi mahasiswa karena telah selesai wisuda sarjana. Namun semangat mahasiswa yang penuh vitalitas pantang menyerah dalam setiap pergerakan dan penuh idealisme tetap bertahan hingga kini dan akan terus kujaga hingga akhir usia ku kelak…….
Jalan Setapak Baru Yang Akan Ku Lalui
Tanggal 16 agustus 2012 merupakan hari pertama, untukku karena lamaranku diterima di sekolah SMP Slamet Riyadi balai untuk mengabdi sebagai seorang guru ditempat dimana aku pernah sekolah dulu, cukup lama bagi aku coba pertimbangkan untuk menjadi seorang guru yang barang tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar. Namun sebagai seorang anak muda apa lagi kader PMKRI harus memiliki sikap “siap sedia” untuk segala panggilan hidup mungkin inilah jalan baru untukku terus belajar akan arti dinamika hidup dalam mengarungi jalan terjal di bumi ini. Tentu hal ini merupakan suatu kehormatan dan anugerah bagiku untuk bisa berbagi ilmu dan berkesempatan mendidik putra/putrid yang ada di batang tarang dan sekitarnya. Tak terasa sudah satu semester aku disana bergulat dengan waktu bersama para anak didiku, mungkin kesempatan bagiku untuk melatih dan mengkaderkan orang muda ini kembali seperti disaat aku masih di perhimpunan dulu, tentu banyak hal yang harus kulalui baik suka maupun duka apalagi mendidik orang-orang muda yang masih dalam tahap perkembangan pra-remaja tentu cukup menantang bagiku. Namun ruang bagi ku untuk berbuat lebih guna mempersiapkan mereka sebagai kader-kader muda yang dapat diandalkan dan militan sangat masih terbatas, aku sangat berharap kedepannya ruang tersebut bisa dibuka dengan lebar sehingga kami orang-orang muda bisa berkreativitas, khususnya untuk para pendidik muda.

Maju terus perjuangan mahasiwa…….
Hentakan kakimu kebumi dalam setiap nafas pergerakan……
Jadilah obor dan mentor-mentor perubahan bangsa……..

”Dari setiap lereng gunung, biarlah kebebasan berdering. Ketika kita membiarkan kebebasan berdering, ketika kita membiarkannya berdering dari setiap desa dan setiap dusun”
Martin Luther King JR

Pontianak, 3 April 2012
            “Ku peluk erat engkau dalam setiap napas dan gerak perjuanganku”
                                                Bernadus Apin

                                   

Minggu, 17 Maret 2013

LIMA WAJAH MAHASISWA INDONESIA


 Pakar pendidikan yang juga Guru Besar Ilmu Pendidikan Moral Universitas Negeri Semarang, Prof. Masrukhi menilai, saat ini banyak mahasiswa yang lebih berorientasi pada gaya hidup. "Sebenarnya, ada lima wajah mahasiswa yang nampak dalam realitas diri dan sosial," kata Pembantu Rektor III Unnes itu, usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan Moral Unnes, di Semarang, Rabu (28/9/2011). Ia menyebutkan, wajah pertama mahasiswa adalah idealis-konfrontatif, yang cenderung aktif menentang kemapanan, seperti melalui demonstrasi. Kedua, mahasiswa idealis-realistis, lebih kooperatif dalam perjuangan menentang kemapanan.
Ketiga, kata dia, mahasiswa oportunis, yang cenderung mendukung pemerintah yang tengah berkuasa, kemudian keempat mahasiswa profesional, yakni mereka yang hanya berorientasi pada kuliah atau belajar. "Empat wajah mahasiswa ini ternyata hanya ada sekitar 10 persen, selebihnya adalah wajah kelima, yakni mahasiswa rekreatif yang berorientasi pada gaya hidup glamour dan bersenang-senang," katanya. Ia menyebutkan, jumlah mahasiswa di Indonesia pada 2010 mencapai sekitar lima juta orang, baik perguruan tinggi negeri, swasta, universitas terbuka, perguruan tinggi kedinasan, dan perguruan tinggi agama. "Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 237 juta orang, maka jumlah mahasiswa ini hanya berada pada kisaran 2,4 persen. Jumlahnya memang relatif kecil," katanya.
Ia juga menyebutkan, mahasiswa yang memiliki pandangan idealis memiliki persentase yang kecil dibanding kelompok lain, namun kelima wajah mahasiswa itu sama-sama memiliki energi besar untuk bersatu-padu. "Energi besar yang disebut collective consciousness (kesadaran kolektif) inilah yang menyebabkan gagasan, opini dari sekelompok kecil mahasiswa, akan menjadi gagasan besar mahasiswa dalam waktu cepat," katanya. Menurut dia, kesadaran kolektif yang dimiliki kalangan mahasiswa itu sudah terbukti dari sejarah perjalanan bangsa yang mencatat gerakan mahasiswa beberapa kali berhasil melakukan perubahan besar, misalnya reformasi. Karena itu, kata pria yang tertarik meneliti kehidupan mahasiswa itu, energi besar, yang dimiliki mahasiswa harus mampu diberdayakan secara cermat oleh kalangan perguruan tinggi, untuk melakukan internalisasi nilai. "Kalau Unnes, lebih menanamkan nilai-nilai konservasi pada mahasiswanya. Tak sebatas konservasi berupa pelestarian lingkungan dan alam, namun mencakup konservasi nilai, moral, dan budaya," kata Masrukhi.
Sumber :
SEMARANG, KOMPAS.com Benny N Joewono | kompas Rabu, 28 September 2011 | 20:02 WIB

Jumat, 08 Maret 2013

GERAKAN CHAVISMO SEBAGAI GERAKAN POPULIS


Pendahuluan
Globalisasi serta disintegrasi komunisme telah mengubah garis batas antara kiri dan kanan. Tidak ada lagi ekstrim kiri seperti yang banyak diperbincangkan dalam negara-negara industri. Pembedaan kiri/kanan terus berlanjut, tetapi pertanyaan fundamental bagi demokrasi sosial adalah apakah pembagian itu mencakup banyak area politis atau tidak? Apakah kita berada dalam periode transisi sebelum kiri dan kanan membangun diri kembali dengan kekuatan penuh?
Pada era 1990-an di Venezuela terjadi kebangkitan gerakan anti-partai yang terbentuk di sekeliling figur Hugo Chavez yang didedikasikan untuk perubahan fundamental dalam masyarakat, sebuah pergerakan yang kebanyakan rakyat Venezuela sebut sebagai Chavismo.
Di bawah kepemimpinan Hugo Chavez, pemerintahan Venezuela telah menjadi lebih dari sekedar rezim sayap kiri. Caracas sekarang ini adalah pusat revolusi, dengan musuh baik di luar maupun di dalam. Chavez muncul dengan politik alternatifnya yang mengguncang barat, Khususnya Amerika Serikat. Propaganda-propaganda anti-Amerikanya bergaung di penjuru Amerika Latin, dan bahkan timur tengah. Disini, Chavez secara frontal memposisikan diri sebagai front sayap kiri Sosialisme melawan dominasi Amerika sebagai Kapitalisme.
Kemunculan Chavez sebagai tokoh populis telah menciptakan jalan yang lebar bagi proses demokratisasi dan gerakan-gerakan sosial di bawah panji sosialismenya dengan menawarkan transformasi menyeluruh dalam segala aspek sosial masyarakat.

Pengertian Populisme
Populisme bisa didefinisikan dalam dua kriteria politik: kehadiran sebuah model hubungan kharismatik antara konstituen dan politisi, dan diskursus demokratis yang berlandaskan ide-ide dari kehendak sosial antara masyarakat dan elit politik. Konsep hubungan kharismatik disini secara eksplisit mengacu pada definisi Weber mengenai kharisma, yakni sebuah relasi yang baik dimana para pemilih mendukung kandidat dengan harapan realisasi atas janji perubahan radikal. Demonstrasi karakter kandidat itu kemudian menjadi semakin signifikan dibanding janji-janji aktual yang mereka berikan. Hubungan kharismatik merupakan produk dari periode penuh tekanan, yakni periode dimana institusi yang ada gagal memberikan solusi terhadap problema terdalam masyarakat.
Populisme dalam konsep proses demokrasi berlandaskan ide-ide kehendak sosial, merupakan sebuah sebuah bentuk mobilisasi politik yang didasari oleh retorika yang kuat terhadap masyarakat yang diwakilkan oleh seorang pemimpin. Eksploitasi dan pembedaan kelas merupakan warisan region Amerika Latin  yang berakar dari pengalaman masa kolonial. Disini para pemimpin populis menghadapi sebuah tantangan: terpilih melalui jalur demokrasi elektoral berarti harus mewakili kehendak mayoritas masyarakat.
Jika sang pemimpin maju dengan mewakili kehendak-kehendak sosial dan oposisinya sudah tidak terlegitimasi lagi, maka segala cara (termasuk kekerasan) bisa dengan sah digunakan melawan mereka. Konsekuensinya adalah; seiring dengan terakomodasinya hak-hak kaum minoritas, maka pemimpin kharismatik tersebut akan menggunakan klaimnya bahwa ia merupakan perwujudan kehendak sosial untuk menjatuhkan rezim yang ada untuk menciptakan ‘check and balance’ demi memastikan terwujudnya proses elektoral yang demokratis.
Pra-kemunculan Chavez, kondisi sosial ekonomi di Venezuela telah mencapai titik kulminasi, di mana tiap orang dari strata sosial menengah ke bawah mulai berbagi satu masalah yang sama; himpitan ekonomi yang menyesakkan. Saat itulah Chavez muncul sebagai jawaban. Chavez-lah yang mampu mempersatukan orang-orang tersebut dengan mengakomodasi tuntutan-tuntutan yang muncul terhadap rezim Caldera. Di bawah figur Chavez, masyarakat bergerak untuk perubahan, dan gerakan ini oleh kebanyakan rakyat Venezuela disebut sebagai Chavismo.

Sejarah Chavismo
Chavismo berawal dari pergerakan dalam tubuh militer Venezuela yang bernama Movimiento Bolivariano Revolucionario 200 (MBR) atau Pergerakan Revolusioner Bolivarian 200.  MBR 200 pertama kali berdiri pada bulan Desember 1983 oleh Hugo Chavez beserta beberapa orang tokoh militer yang bertujuan untuk melakukan perubahan atas ketidaksetaraan dan korupsi yang melanda Venezuela.
            Anggota-anggota MBR 200 merupakan sebuah gerakan bawah tanah. Seiring dengan bertambahnya jumlah mereka di tubuh militer, rencana-rencana revolusi sipil-militer dibentuk. Usaha mereka semakin gigih setelah pasukan bersenjata dipanggil untuk meredam peristiwa Caracazo, sebuah kekacauan besar pada Februari 1989 yang dipicu oleh melonjaknya harga minyak dunia.
            Pada awal 1992 peristiwa-peristiwa yang terjadi seolah memberikan klimaks bagi pergerakan: mayoritas penduduk negeri merasa kecewa pada pemerintah, Chavez menduduki posisi kuat di militer, dan tersebar desas-desus bahwa pergerakan telah terdeteksi oleh intelejen militer.
            Maka pada tanggal 4 Februari MBR 200 melancarkan kudeta terhadap rezim gagal Carlos Andrez Perez, presiden yang menginisiasi reformasi ekonomi di tahun 1989. Meskipun konspirasi tersebut digagalkan oleh militer yang loyal terhadap Perez, Chavez dan MBR-nya mendapatkan dukungan yang besar dari masyarakat.
            Di dalam penjara selama dua tahun kedepan, para konspirator (khususnya Chavez) memiliki kesempatan untuk melakukan reorganisasi dan membuat rencana baru ketika mereka mendapatkan kunjungan rutin dari sejumlah penduduk Venezuela yang melihat mereka sebagai pemimpin potensial pergerakan perubahan politik.
            Proses reorganisasi politik tersebut semakin lancar setelah tahun 1994, ketika presiden Rafael Caldera memberikan pengampunan bagi para konspirator dan mendukung mereka untuk berpartisipasi secara damai melalui  jalur elektoral.
            Chavez dan sekutu-sekutu terdekatnya lalu mempelajari problema-problema negara dengan bepergian ke seluruh penjuru Venezuela, bertemu langsung dengan rakyat, dan menyebarkan polling yang bertujuan untuk mengenali bangkitnya kesadaran hak di masyarakat. Pada tahun 1997 telah terbentuk satu kelompok aktivis sipil dan militer yang siap maju untuk kompetisi elektoral dalam proyek revolusi demokratis ini. Pada tanggal 21 Oktober 1997 lebih dari 200 orang mengadakan pertemuan di Caracas dan menandatangani piagam yang secara legal menandai terbentuknya ‘Fifth Republic Movement’ (MVR), partai yang kemudian akan berperan sebagai kendaraan politik resmi bagi Chavez dalam proses pemilu.
            Chavez memenangkan pemilu 1998 dengan kemenangan telak, lebih dari 50% suara, mengalahkan Luis Alfaro Ucero, kandidat kuat dari partai Accion Democratica, serta dua calon independen lainnya: Irene Saez dan Henrique Salaz Romer.
Kepemimpinan Hugo Chavez didasari oleh sebuah model pengembangan demokrasi baru yang di jalankan oleh aliansi yang terorganisir dengan baik antara kelompok-kelompok solidaritas di masyarakat dan elit negara. Semenjak demokrasi venezuela lahir di tahun 1958, sistem politik terus didominasi oleh ‘Accion Democratica’ dan ‘Copei’ yang secara esensial merupakan dua partai poliarki yang menjaga sirkulasi minyak di kalangan elit. Hugo Chavez mengisi ruang tersebut dengan kritik-kritik radikal terhadap sistem lama dan pembentukan konstitusi baru dengan target transformasi mendalam pada bidang ekonomi, politik dan sosial masyarakat.

Chavismo dan Bangkitnya Gerakan Sosial
Chavez dan revolusi bolivariannya telah memberikan nafas baru pada gerakan-gerakan sosial di Venezuela. Sepanjang masa kepemimpinan Carlos Andres Perez yang pro-liberalisme, kehendak-kehendak sosial tidak mendapatkan akomodasi sama sekali. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan Perez untuk memihak pada kaum borjuis ketimbang masyarakat kelas subordinat. Keberpihakan ini memberikan tekanan pada masyarakat minor di Venezuela sehingga secara otomatis kehendak dan aspirasi mereka tidak tertampung oleh pemerintah. Di sinilah muncul tuntutan dari rakyat untuk dilakukannya transformasi sosial dan ekonomi. Selain itu, korupsi yang merajalela di bawah kepemimpinan Carlos Andres Perez berkembang menjadi penolakan terhadap politik tradisional serta membukakan ruang bagi pergerakan politik alternatif.
Kemunculan Chavez sebagai tokoh populis merupakan jawaban yang ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Venezuela. Chavez menjanjikan reformasi politik dan ekonomi untuk memberikan bagian yang lebih banyak pada rakyat miskin dari petrodollar Venezuela, memberikan harapan bagi rakyat yang mengharapkan transformasi sosial dan ekonomi dengan sebuah jawaban: fase baru sosialisme.
Transformasi tersebut diwujudkan Chavez melalui pembentukan dewan konstitusi untuk menulis kembali konstitusi pada bulan Juli 1999, yang merombak ulang kebijakan-kebijakan untuk berpihak kepada rakyat miskin. Pada tahun 1999 lebih dari 40% anggaran negara di alokasikan kepada program-program kesejahteraan sosial yang terdiri dari penyediaan rumah murah bagi kaum miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan subsidi untuk penyediaan bahan makanan dengan harga terjangkau.
Program-program tersebut diwujudkan dengan pembentukan misi-misi perbaikan sosial yaitu:
1.        Robinson: Misi penyediaan rumah layak,
2.      Ribas: Program edukasi dan pemberantasan buta huruf,
3.       Barrio Adentro: Program pelayanan kesehatan bagi kaum marjinal, dan
4.      Mercal: Subsidi makanan murah dari pemerintah
Dari keempat program diatas, hanya Robinson yang dijalankan langsung oleh pemerintah. Sedangkan Ribas, Barrio Adento, dan Mercal lebih banyak direalisasikan melalui partisipasi masyarakat itu sendiri. Ketiga program tersebut dilaksanakan di pusat-pusat komunitas dengan memberdayakan tenaga-tenaga sukarela dalam pelayanannya.
Di belakang Chavez adalah masyarakat revolusioner yang berusaha untuk melakukan transformasi sosial itu sendiri, dan untuk pertama kalinya, masyarakat sipil Venezuela tertarik untuk berpartisipasi dalam politik, yakni dengan dikembangkan konsep dewan komunal untuk mengalihkan kekuasaan dari elit-elit negara di badan perwakilan pada masyarakat. Disinilah model demokrasi parsitipatoris terbentuk. Masyarakat menolak model perwakilan dan lebih memilih keikutsertaan dalam pengambilan keputusan untuk menghindari munculnya tendensi bahwa jabatan elit negara dianggap sebagai keistimewaan (privilege) sehingga keputusan-keputusan yang di ambil lebih mendahulukan kepentingan golongan ketimbang komunal. Pembiayaan dewan komunal itu sendiri disokong oleh dana dari bank komunal dan sedikitnya mewakili 200-400 keluarga di area-area urban.
Chavez beruntung, karena ia muncul pada tempat dan waktu yang tepat. Penolakan masyarakat terhadap model yang ada ia manfaatkan untuk membangkitkan kesadaran kelas. Hasilnya adalah sebuah negara yang berjalan berdasarkan partisipasi politis masyarakat yang mengesankan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan komunal di tingkat distrik.
Pada tahun 2002, oligarki yang di dukung oleh pemerintah AS berusaha untuk menggulingkan Chavez dan mengambil alih kontrol atas negara. Hal ini di latar belakangi oleh usaha Chavez untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta dan membagikan kekayaan pada rakyat miskin. Dalam kudeta ini Chavez berhasil digulingkan dari kekuasaan.
Peristiwa ini memicu bentrokan berdarah antara pendukung kaum borjuis dan rakyat miskin dalam demonstrasi pada pertengahan 2002 yang berlanjut menjadi bentrok antara militer dan sipil. Namun kudeta militer sayap kanan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah di kalahkan oleh rakyat yang menginginkan presiden mereka kembali. Dua hari kemudian, Chavez kembali menduduki jabatan presiden.
Seusai kegagalan pada kudeta tersebut, oposisi merubah strateginya dengan melakukan sabotase terhadap ekonomi venezuela dengan tujuan menjatuhkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Chavez. Pada bulan Desember 2002 para pengusaha menutup pabrik mereka yang tersebar di seluruh Venezuela selama hampir dua bulan. Di perusahaan minyak PDVSA, produksi turun dari tiga ratus juta barrel per hari menjadi dua puluh lima ribu barrel. Hal ini menyebabkan kelangkaan dalam berbagai aspek baik makanan, transportasi, gas, dll. Perusahaan-perusahaan swasta di bekukan, dan masyarakat kembali kehilangan pekerjaan.
Namun seperti yang terjadi di Argentina, muncul model ekonomi baru: pengambil alihan. Dengan ditutupnya ratusan pabrik, para buruh mulai menjalankan pekerjaan mereka secara mandiri (tanpa atasan). Di negara maju, pabrik yang ditutup hanya merupakan konsekuensi dari sebuah model ekonomi, dan tidak ada kelanjutannya. Namun di Venezuela hal ini malah merupakan sebuah permulaan. Bagi kapitalisme yang menekankan spesialisasi, hal ini tidak di anggap tidak mungkin. Namun peristiwa pengambil alihan ini telah mematahkan prinsip dasar tersebut. Dan sekali lagi gerakan masyarakat menyelamatkan proses revolusi.

Prediksi
Hugo Chavez dan gerakan-gerakan sosial di Venezuela sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Tanpa Chavez, tidak akan terwujud gerakan sosial. Sedangkan posisi Chavez sendiri tidak akan kuat tanpa gerakan-gerakan progresif yang berdiri di belakangnya.
Chavez sendiri merupakan inti dari proyek Bolivarian. Chavez adalah pemimpin revolusi dengan kharisma yang begitu besar di mata para pendukungnya. Namun di sinilah terlihat kelemahan dari proyek revolusi bolivarian. Kemudian sedikitnya terdapat dua prediksi mengenai kelanjutan dari gerakan-gerakan sosial di Venezuela yang dapat saya ajukan sebagai berikut:
Pertama, Chavez sebagai ikon tentunya memegang peranan penting dalam eksekusi gerakan-gerakan sosial yang terjadi. Seandainya Chavez jatuh sebelum terbentuknya dasar yang kuat di masyarakat, maka proses revolusi hanya akan berhenti pada proses inisiasi diri masyarakat, kemudian berhenti begitu saja. Titik. Kemudian struktur dan sistem yang pernah berubah akan kembali di kuasai oleh neo-liberalisme. Hal ini hampir bisa dipastikan karena kejatuhan Chavez akan mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat yang  mendewakan Chavez sebagai pemimpin revolusi sehingga mendorong mereka untuk melakukan transformasi sosial dan menekan liberalisme. Selain itu, gerakan-gerakan sosial akan sulit memperoleh kemenangan jika berjuang di tingkat nasional tanpa adanya tokoh kuat sebagai pemimpin.
Kedua, jika di dalam struktur masyarakat Venezuela telah terbentuk basis yang kuat, maka tanpa Chavez sekalipun gerakan-gerakan sosial akan tetap bertahan. Namun kemungkinan ini hanya akan terwujud jika proses revolusi telah berlanjut ke tahap yang jauh lebih tinggi sehingga membawa masyarakat ke tingkat pengenalan yang lebih matang dengan landasan kuat.

Kesimpulan
Hugo Chavez sebagai tokoh populis dalam proses revolusi Venezuela merupakan faktor utama yang memberikan dasar bagi munculnya gerakan-gerakan sosial. Dengan gaya retorika politiknya yang khas, Chavez dengan sukses memobilisasi massa dan memenangkan pemilu 1998 dengan kemenangan mutlak, yakni lebih dari 50% suara.
Revolusi bolivariannya berpusat pada pembebasan masyarakat dari hegemoni neo-liberalisme yang sesungguhnya dijalankan oleh rakyat sendiri. Didasari oleh hubungan kharismatik yang kuat dengan para pendukungnya, kesetaraan yang diusung Chaves merupakan sebuah proses demokrasi yang berangkat dari ide-ide kehendak sosial.
Bagaimanapun, satu hal terpenting yang perlu dijaga di Venezuela adalah semacam solidaritas intern yang diperjuangkan. Terlebih lagi, kaum progresif perlu menyadari bahwa terdapat banyak revolusi politik, sosial dan ekonomi yang terancam di Venezuela. Dan semua tergantung pada masyarakat untuk berpartisipasi, mengkritisi, dan mendukung revolusi-revolusi tersebut demi memastikan bahwa perjuangan itu tidak akan hilang dibawah pengaruh hegemoni paham neo-liberal.



 Referensi

Kirk Hawkins, Populism in Venezuela: The Rise of Chavismo. Third World Quarterly, Vol. 24, No. 6: 2003
Jonah Gindin, Beyond Populism: Venezuela and Iternational Left, Artikel www.greenleft.com, 2004.
International Study: Transition of Venezuela, www.libraryofcongress.com
Mathew R. Cleary, Explaining The Left’s Resurgence, Journal of Democracy, edisi 17, Oktober 2006.
Dieterich Ruchemeyer, Evelyne Huber Stephen, and John D. Stephen, Capitalist Development and Democracy, University of Chicago Press: Chicago.
Soyomukti, Nurani. Hugo Chavez VS Amerika Serikat, Yogyakarta: Garasi, 2008
Film No Volveran.