Transformasi Organisasi (TO) merupakan sebuah lompatan besar dalam
upaya mencapai sebuah organisasi yang sesuai dengan tantangan tantangan yg ada
di depan. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat harus dapat direspon oleh
organisasi apabila organisasi tersebut tidak ingin tertinggal dan hanya mampu
berada pada wilayah memori. Lompatan besar ini juga dapat dikarenakan terlalu
“gemuk” nya organisasi baik dalam kuantitas dan kualitas anggota. “Kegemukan”
ini bisa berada dalam wilayah struktur yang tidak responsive atas kebutuhan,
manajemen organisasi yang tidak efektif menjawab tantangan ataupun kultur yang
terlalu konservatif sehingga ditinggalkan oleh laju masyarakat yang sekarang
ada.
Bagi PMKRI
sendiri, nampaknya lompatan yang telah coba diwacanakan terbentur oleh berbagai
hambatan dalam sisi aplikasinya. Sekalipun semua masyarakat PMKRI telah menyetujui bahwa lompatan besar itu harus
dilakukan, namun tidak semua anggota masyarakat mengetahui kemana kita akan
melompat, bagaimana melakukan lompatan itu, dan cara mengantisipasi berbagai kendala yang
akan muncul dalam perjalanan untuk melakukan loncatan itu.
Bisa
jadi apa yang termuat dalam tulisan ini akan sulit diwujudkan, entah karena
keterbatasan sumber daya atau karena belum ditemukan rumusan operasionalnya.
Bagi saya yang penting adalah bahwa setiap upaya mencari terobosan yang
diarahkan untuk perjuangan kerakyatan tetap mendapat tempat dalam tubuh PMKRI.
Pengalaman hidup mengajarkan bahwa apa yang kita perjuangkan tidak selalu
memberikan hasil yang memuaskan. Tapi tidak berarti bahwa karena itu orang
tidak boleh memiliki sebuah ruang untuk tetap ‘pengharapan’.
MERUMUSKAN TANTANGAN ORGANISASI
Bagian ini berisi analisa kekuatan
yang ada di masyarakat dengan ciri-ciri atau kekhasannya, yang diperkirakan
akan mempunyai pengaruh atau daya dorong paling besar terhadap proses
perkembangan masyarakat kita di masa depan. Dari analisa tersebut lalu dapat
dirumuskan tantangan apa yang akan dihadapi oleh organisasi di masa depan:
1. Bukan sekedar globalisasi ekonomi, melainkan globalisasi kapital
Salah
satu kata kunci untuk berbicara tentang masa depan adalah ‘globalisasi’.
‘Globalisasi’ menggambarkan bagaimana masyarakat di masa depan akan terbentuk
menjadi suatu masyarakat yang akan saling berhubungan, dan ada dalam satu
jaringan hampir dalam seluruh aspek kehidupan. Apa yang terjadi di salah satu
ujung bumi akan diketahui dan membawa akibat pada ujung bumi yang lainnya. Bila
ditengok, sebenarnya ‘globalisasi’ sudah cukup menjadi kenyataan sekarang ini.
Globalisasi ini terjadi antara lain karena perkembangan teknologi, khususnya di
bidang transportasi, komunikasi dan informatika, sehingga batas-batas geografis
dan politik akan semakin direlatifkan.
Demikian
pula di bidang perekonomian, yang akan terjadi adalah ‘globalisasi ekonomi’.
Pasar meluas ke seluruh dunia sehingga seluruh dunia pada dasarnya bisa
dikatakan sebagai satu pasar besar yang dikuasai oleh hukum perdagangan bebas.
Jaringan produksi, jaringan pemasaran atau berbagai macam persekutuan ekonomi
di masa depan akan melibatkan berbagai sektor masyarakat dan akan melampaui
batas-batas negara. Bahkan pemerintah negara-negara akan berkecenderungan untuk
menjadi salah satu pemeran aktif di dalam proses globalisasi ini.
Namun
sebenarnya ungkapan ‘globalisasi ekonomi’ ini belum menggambarkan hal yang
substansial atau apa yang sebenarnya, dan baru menggambarkan apa yang terjadi
di permukaan. Di balik ‘globalisasi ekonomi’, yang terjadi sebenarnya adalah
‘globalisasi kapital’ yang terarah pada pemusatan modal atau kapital, karena
dalam praktiknya globalisasi ini diarahkan dan dikendalikan oleh kekuatan modal
besar yang mempunyai jangkauan berskala internasional. Dalam situasi seperti
ini, kelompok-kelompok ekonomi lokal dengan kekuatan kecil dan jaringan
terbatas akan cenderung mengalami kekalahan.
Kelompok-kelompok
ekonomi kecil yang ingin menghindar dari kekalahan memilih untuk bergabung
dengan kekuatan modal besar ini, tapi dengan demikian justru akan menjadi
penyangga atau malahan memperkuat jaringan modal global. Dan memang inilah
salah satu ciri-ciri pokok perekonomian di masa depan yang disebut dengan
globalisasi kapital. Modal diperdagangkan di pasar-pasar modal di seluruh
dunia, dan pasar-pasar modal yang merupakan satu jaringan inilah sebenarnya
yang akan menjadi salah satu tempat yang paling menentukan wajah perekonomian
dan nasib begitu banyak orang di muka bumi di masa depan.
2. Kapitalisme Global mengakibatkan Ketidakadilan
sosial dan kerusakan alam
'Ketidakadilan
global' akan menjadi salah satu
ciri-ciri utama masyarakat di masa depan, entah sifatnya tersembunyi atau
nampak di permukaan. Sebagian warga masyarakat akan diuntungkan oleh proses
ekonomi yang terjadi, meskipun dalam jumlah yang tidak banyak. Termasuk dalam
golongan ini adalah para mahasiswa atau kalangan menegah yang akan tumbuh
menjadi profesional-profesional muda. Mereka akan menempati pos-pos yang secara
ekonomis menguntungkan, dan penuh dengan fasilitas dan jaminan.
Akan
tetapi di bawah mereka terdapat sebagian besar massa kaum muda, yang hidup
sebagai buruh, pegawai atau karyawan yang secara material, manajerial atau
bahkan secara azasi menjadi landasan bagi keberhasilan dan kemakmuran para
rekannya yang termasuk dalam golongan profesional muda. Sementara sebagian
kecil angkatan kerja akan ‘mengglobal’, ‘go international’ dan sebagainya,
sebagian besar akan tetap ada dalam posisi yang secara ekonomis tergantung pada
entah kebijakan karitatif atau kemurahan hati kalangan profesional yang ada di
atas mereka. Meskipun tidak ada maksud-maksud mengeksploitasi kalangan bawah,
namun realitas yang terjadi tetap bersifat eksploitatif dan melembaga, bahkan
bisa jadi dikukuhkan oleh sistem perundangan-undangan negara.
Dengan
kata lain, kalau toh sebagai pribadi kalangan kaum muda profesional ini tidak
serakah, tapi dalam sistem yang berkembang di masyarakat di masa depan mereka
akan termasuk golongan yang diuntungkan. Apalagi kalau mereka dijangkiti oleh
keserakahan, di satu sisi secara ekonomi mereka akan lebih terjamin dan
memperoleh banyak keuntungan, tapi dengan risiko mengorbankan
sebanyak-banyaknya warga masyarakat lainnya di luar kalangan mereka. Karena
ketidakadilan ini bersifat struktural, maka upaya-upaya karitatif, entah yang
dilakukan secara personal atau sebagai kebijakan menajerial, yang diusahakan
oleh kalangan profesional yang tidak serakah, tidak akan cukup menjawab
persoalan yang sudah bersifat struktural-global.
Selain
itu, globalisasi kapital ini akan disertai dengan pengembangan teknologi dan
usaha-usaha eksploitasi alam secara besar-besaran. Khususnya berkenaan dengan
upaya pengembangan teknologi akan terjadi pula perubahan yang menimbulkan
dampak terhadap tatanan sosial dan moralitas masyarakat, namun usaha-usaha ini
juga akan berakibat langsung pada kerusakan-kerusakan alam. Usaha-usaha untuk
mencari solusi terhadap permasalahan ini bisa dibayangkan akan terjadi, baik
dari segi teknologi industri, kimia bio-teknologi, dan lain-lain. Akan tetapi
usaha-usaha ini akan selalu mengalami kekalahan dibandingkan dengan
kerusakan-kerusakan yang akan terjadi, karena semangat untuk mengeksploitasi
akan lebih besar dibandingkan dengan kesadaran untuk memperbaiki.
3. Agenda Kapitalisme Global didukung oleh
kebijakan negara(-negara)
Dalam praktik
kerjanya di tingkat internasional, kapitalisme global ini dimungkinkan untuk
berkembang karena didukung dan difasilitasi oleh perangkatnya yang paling
menentukan, yakni proses-proses politik yang dikembangkan dalam hubungan
antarnegara. Hal ini terjadi karena kekuatan modal besar akan memberikan apa
yang dibutuhkan oleh negara-negara untuk memenuhi kepentingan penyelenggaraan
negara, entah melalui mekanisme pinjaman, investasi maupun penyediaan
kebutuhan-kebutuhan. Di sisi lain negara-negara sendiri memang juga
berkeinginan untuk terlibat sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem
kapitalis ini untuk operasi dirinya dan untuk ikut juga meraup keuntungan dari
sistem perekonomian yang dikembangkan. ‘Perkawinan’ antara ‘negara’ dan
‘kapital’ ini akan cenderung lestari karena pertemuan kepentingan antara
keduanya.
Dengan
kata lain dapat diramalkan bahwa globalisasi ekonomi dalam kenyataannya tidak
akan meniadakan atau menafikan peran negara-negara. Bahkan yang akan terjadi
justru sebaliknya. Kapitalisme di masa depan membutuhkan tangan negara bukan
lagi di tingkat suatu masyarakat bangsa tertentu, melainkan pada tingkat yang
lebih tinggi. Di masa depan, kapitalisme global membutuhkan tangan
negara-negara secara global, sebagai infantri untuk memberi jalan dan menjamin
keamanan perkembangan kapital di antara bangsa-bangsa. Memang barangkali negara
masa depan tidak akan mengurusi segala-galanya, karena peranan swasta di
berbagai bidang juga akan menguat dan mengambil alih sektor yang semula
ditangani oleh negara. Namun negara di masa depan juga akan menjadi negara yang
lebih ‘sophiscated’ dan terspesialisasi, dan bersekutu satu dengan yang lain
dalam suatu jaringan. Negara-negara canggih inilah yang akan menjadi alat
operasi kapital global.
Dapat dibayangkan
pula bahwa negara di masa depan adalah negara yang nampaknya ‘kaya dan murah
hati’, dengan menyediakan berbagai fasilitas atau kemudahan untuk dinikmati
oleh masyarakat warga. Bisa dibayangkan bahwa sarana komunikasi, transportasi,
hiburan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya akan mengalami peningkatan.
Tetapi belum tentu dalam penyelenggaraan fasilitas-falsilitas itu sebenarnya
negara memihak kepada masyarakat warga pada umumnya, karena kemurahan hati
negara dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum dan kebijakan kebijakan karitatif
bisa jadi justru berfungsi untuk melancarkan agenda-agenda yang disusun oleh
kekuatan-kekuatan kapital global.
Bahkan
dapat terjadi bahwa kekayaan dan modal untuk fasilitasi itu diperoleh oleh
negara dari pinjaman, hutang dan sebagainya dari negara-negara kaya yang
mengabdi pada kepentingan kapitalisme global. Belum lagi hutang dibayar, proses
ini bakal membawa konsekuensi negara yang disponsori semakin tidak menjadi
‘milik’ masyarakatnya, karena dalam iklim kompetisi global, negara akan semakin
mudah mengamini agenda yang ditawarkan oleh kekuatan kapitalis yang
mensponsorinya. Sementara itu keuntungan atau kekuatan untuk berkompetisi yang
digalang oleh rakyat banyak tidak akan cukup sebanding dengan akses politik
maupun ekonomi yang dimiliki oleh kekuatan ekonomi global.
Kendati
dalam proses politik ada pemilu yang melibatkan rakyat banyak, tidak bisa
dijamin bahwa kekuatan politik yang memperoleh kemenangan akan memperjuangkan
sungguh-sungguh nasib rakyat banyak. Hal ini akan terjadi karena bukan pemilu
dan kekuatan rakyat yang lebih menentukan keputusan-keputusan politik yang akan
diambil, melainkan proses tawar menawar di antara para elit nasional dan para
kapitalis. Karena itu pula meskipun secara formal-konstitusional negara
menyatakan diri berdaulat, tetapi proses-proses konstitusionalnya sebenarnya
dikendalikan bukan oleh masyarakat warganya melainkan oleh negara beserta para
elit politiknya, di bawah kendali kekuatan modal-modal besar.
4. Bukan Demokrasi melainkan Politisasi
elit terhadap isu-isu kerakyatan
Salah
satu syarat utama globalisasi kapital adalah liberalisasi ekonomi dalam
hubungan antar negara, yang menyentuh seluruh sektor, mulai dari investasi
untuk produksi, jasa sampai dengan sistem perdagangan baik modal maupun barang.
Karena itu kebijakan-kebijakan antarnegara akan diatur ke arah timbulnya
kesepakatan untuk kekuatan modal membuka peluang investasi dan perdagangan
seluas-luasnya, melampaui batas-batas negara. Kesepakatan ini menjadi bersifat
mengikat karena akan diatur dan dilindungi oleh hukum nasional dan
internasional.
Di
tingkat nasional hal ini dimungkinkan karena negara, dalam hal ini elit-elit
politik, dengan dukungan dan diikuti oleh kelompok-kelompok profesional dan
organisasi-organisasi sosial, berkepentingan untuk menjadi partisipan dalam
tata perekonomian global. Kecenderungan untuk sukses dan berkuasa akan
diperkuat dan dilanggengkan bagaimanapun keadaannya. Mereka yang ada di sektor
swasta ataupun negara akan mendapatkan banyak keuntungan dengan bekerja sama
atau setuju dengan agenda kekuatan-kekuatan kapitalis, meskipun dengan risiko
harus mengambil kebijakan-kebijakanatau pilihan organisasi yang sebenarnya
bersifat menyengsarakan rakyat.
Untuk
kepentingan agenda liberalisasi ekonomi, salah satu isu yang akan ditiupkan
oleh kekuatan-kekuatan kapitalis adalah isu ‘demokratisasi bangsa-bangsa’.
Berkenaan dengan hal ini, elit-elit politik dan kelompok-kelompok profesional
dari berbagai kalangan di tingkat nasional akan mengambil langkah menyesuaikan
diri. Meskipun hal ini membawa konsekuensi mereka harus merumuskan kembali
agenda-agenda pribadi maupun nasionalnya, namun hal ini akan tetap dilakukan,
karena toh sistem ‘demokrasi’ tetap memberi akses atau peluang pada mereka
untuk memperoleh keuntungan atau bagian dalam kekuasaan.
Pilihan
seperti ini akan membuat semakin kuatnya tarik menarik kepentingan diantara
para elit, organisasi-organisasi sosial dan kelompok-kelompok profesional
nasional, untuk merebut kepemimpinan baik di sektor ekonomi, politik maupun
publik pada umumnya. Untuk itu tawar menawar dengan jaringan kekuatan kapital
global, baik yang ada di sektor swasta, organisasi-organisasi sosial maupun
pemerintahan, akan terus dilakukan. Karena para elit, organisasi-organisasi
sosial dan kalangan profesional tetap membutuhkan dukungan dari rakyat atau
masyarakatnya, maka isu-isu karitatif, demokrasi dan kerakyatan akan menjadi
pilihan, meskipun di balik itu sebenarnya ada motif untuk meraih atau
melanggengkan kekuasaan.
6. Keresahan sosial dan ketegangan-ketegangan horisontal
Situasi
ini akan menjadi lebih parah ketika elit-elit politik dan kekuatan-kekuatan
modal serta berbagai kelompok kepentingan tidak cukup memberi perhatian pada
apa yang digelisahkan rakyat, dan justru memanfaatkan isu-isu kesejahteraan
maupun isu-isu primordial sebagai alat untuk memperoleh simpati, memperkuat
posisi dan melanggengkan kenyamanan. Hal ini menjadi mungkin karena secara
kultural masyarakat masih dikuasai oleh mentalitas feodal, dengan kecenderungan
untuk berpatron pada kelompok-kelompok elit dan memberikan dukungan karena
alasan-alasan primordial.
Situasi
ini membuat masyarakat berpola pikir individualis atau fragmentaris, dan
cenderung ada dalam ketegangan, yang akan mudah berkembang menjadi keresahan
bahkan kerusuhan sosial karena dipicu oleh faktor-faktor kesenjangan dan
ketidakadilan sosial. Dalam kondisi sosial-ekonomi seperti ini
dukungan-dukungan yang tidak masuk akal akan mudah diberikan oleh rakyat kepada
para elit kekuasaan yang saling berebut kekuasaan karena alasan-alasan
primordial atau alasan-alasan lain yang tidak rasional. Karena itu pula
konflik-konflik kepentingan di tingkat elit akan dengan mudah berkembang
menjadi konflik-konflik horisontal, dengan akibat makin lumpuhnya daya
solidaritas masyarakat, yang dalam dalam kasus-kasus tertentu bisa memperkuat
gerakan separatis atau bahkan penindasan kelompok atau golongan.
Keadaan
akan menjadi lebih parah apabila kekuatan-kekuatan modal global melihat hal ini
sebagai peluang untuk makin mencengkeramkan pengaruh dan kekuasaan. Khususnya
tekanan-tekanan yang lebih kuat akan diberikan kepada para pengelola negara
untuk senantiasa menenteramkan rakyatnya, dengan konsekuensi negara semakin
terbiasa untuk tunduk pada kepentingan-kepentingan modal. Di tengah keadaan di
mana rakyat menjadi medan pertarungan berbagai kepentingan, mereka sendiri
tidak punya cukup kekuatan untuk menjadi lebih kritis terhadap keadaan. Rakyat
akan semakin mudah marah, putus asa dan tidak mampu memaknai keadaan.
‘Janji-janji’ kesejahteraan terus berdengung di ruang-ruang publik mereka
melalui berbagai media massa, sementara dari hari ke hari yang didapati justru
situasi yang melelahkan.
7. Era ideologi-ideologi dan
menguatnya radikalisme massa
Bersamaan
dengan menguatnya kapitalisme global yang didukung oleh agenda elit-elit
politik serta kelompok kepentingan ini, akan menguat pula kecenderungan untuk
menciptakan iklim perlawanan dari kelompok-kelompok kepentingan dengan basis
ideologi antikapitalis di tingkat nasional. Sejarah perkembangan masyarakat
menunjukkan bahwa dimana kapitalisme merajalela, disitu pula
sosialisme/komunisme memperoleh 'pasar'nya yang utama. Apalagi indonesia dengan
sekian potensi alam dan tenaga kerja pada dasarnya adalah salah satu lahan
investasi dan pemasaran yang potensial bagi kapitalisme global di masa depan,
sekaligus juga menyimpan potensi-potensi perlawanan karena faktor-faktor
ketidakadilan.
Terutama
di negara dengan masa depan kesenjangan seperti Indonesia, perlawanan dengan
basis ideologi, mulai dari yang paling lunak sampai yang paling keras, akan
akan lebih mudah mengembangkan dirinya. Hal ini menjadi amat mungkin
karena basis perjuangan ideologi-ideologi mudah dibangun, khususnya di kalangan
rakyat kebanyakan yang paling tidak diuntungkan. Dengan dukungan dana dan
pemikiran dari jaringan antikapitalisme yang berskala internasional, gerakan
perlawanan ini akan cukup mempunyai daya tahan, dan tidak terlalu ragu-ragu
untuk memilih bentuk-bentuk perlawanan yang radikal karena justru akan mudah
mendapatkan respon di kalangan rakyat kebanyakan.
Dalam
situasi seperti ini, elit-elit politik pada umumnya juga akan lebih sering
menjadikan ideologi atau aliran sebagai salah satu wacana untuk meraih
kepentingan. Ruang-ruang publik akan makin sering diisi dengan jargon atau retorika
politik sebagai alat untuk memperebutkan simpati rakyat. Menguatnya kembali era
ideologi-ideologi ini, akan menyeret kembali rakyat pada kondisi
termanipulasinya kesadaran. Dalam situasi seperti ini kaum muda yang ingin
bersikap kritis terhadap keadaan maupun rakyat pada umumnya akan lebih mudah
menerima penggunaan alat-alat kekerasan untuk maksud-maksud perjuangan. Hukum
rimba kapitalisme akan dilawan dengan hukum rimba perlawanan.
Merumuskan tantangan di masa depan
Kompetisi
dan pertikaian ekonomi maupun politik banyak mewarnai masa depan, dengan
kemungkinan eskalasi yang bisa di luar jangkauan atau perkiraan. Kecenderungan
untuk terus mengembangkan kemakmuran dan kekuatan pada kelompok-kelompok
tertentu akan membawa kemungkinan rusaknya sumber daya alam dan jatuhnya korban
pada kelompok-kelompok lain.
Dalam
situasi seperti ini, yang paling mungkin menjadi korban adalah massa rakyat
kebanyakan, dengan nasib yang sepertinya tidak akan pernah berubah. Kerusakan
alam dan korban-korban kemanusiaan akan terus berjatuhan melalui segala macam
sebab, sehingga yang nampak di masa depan tidak lain adalah tragedi
kemanusiaan.
Dalam
pandangan saya, kenyataan inilah yang akan terjadi di masa depan, dan
menghadapkan organisasi-organisasi dengan pilihan-pilihan kemanusiaan –
termasuk PMKRI, jika PMKRI memang memposisikan dirinya pada pilihan-pilihan
kemanusiaan - pada tantangan besar dan mendasar, yakni tantangan terhadap visi,
misi dan keberadaan dirinya!
Mau ke
mana PMKRI di masa depan, menurut saya antara lain akan tergantung dari sejauh
mana PMKRI saat ini membuka horison kesadaran dan mengulurnya ke masa depan.
Berpikir bahwa tantangan ke depan itu kecil dan tidak mengandung persoalan
hanya akan menjadi bukti bahwa PMKRI memang suatu organisasi kecil, yang barangkali
tidak cukup memiliki bangunan kesadaran. Sekurang-kurangnya, apabila
‘kesadaran’ itu menyangkut sejarah jatuh bangunnya ‘kemanusiaan’.
MEMBEDAH KELEMAHAN
Bila
PMKRI mau dan secara jujur berkaca pada keadaan dirinya, maka saya melihat ada
beberapa kelemahan yang sangat mendasar yang perlu diakui dan dicari jalan
pemecahaannya. Tentu saja dalam berkaca,
PMKRI tetap berpijak pada sebuah kesadaran dan keinginan untuk terus menjadi
baik.
1.
Sentuhan empati
Dalam setiap pola –
pola pembinaannya sebagai sebuah wahana
pembentukan kader, PMKRI perlu melihat bagaimana kecenderungan yang ada saat
ini. Saya melihat pembinaan yang selama ini coba terus digagas dan diperbaiki
belum mencapai sebuah tahapan sentuhan empati bagi masyarakat tertindas-bila
memang PMKRI concern pada wilayah
itu-malahan lebih cenderung mengeksploitasi ketertindasan itu dalam sebuah
ruang – ruang diskusi ber AC yang jauh dari sentuhan PMKRI secara pribadi.
Pendidikan yang selama ini dilakukan lebih cenderung berada pada wilayah –
wilayah ketakutan untuk membuat sentuhan. Ketertindasan masyarakat masuk ke
dalam sebuah kenyamanan berdiskusi dimana
jauh dari realitas yang dirasakan oleh mereka.
2.
Kesenjangan otak kader dan
spiritnya
Wacana merupakan
sesuatau hal yang sangat menarik. Ini
karena wacana berada pada wilayah – wilayah yang relatif aman. PMKRI
selama ini mengisi kadernya pada wilayah – wilayah yang aman tersebut, sehingga
tak heran apa yang muncul dalam setiap pergulatan keseharian hanya membenturkan
diri dengan wacana. Wacana yang hebat tidak dapat diimbangi dengan sebuah
spirit yang mampu menggerakkan basis material yang telah dimiliki kader PMKRI.
Kekeringan itulah yang sedang melanda PMKRI selama ini sehingga menggilas PMKRI
- kalau merasa tergilas - sendiri dengan percepatan yang ada di masyarakat.
Oase spiritualitas PMKRI telah kering.
3.
Kemapanan ekonomi.
Bila kita perhatikan
bersama, sebagian besar anggota PMKRi yang notabene seorang mahasiswa memiliki
latar belakang ekonomi yang cukup mapan. Kemapanan ekonomi ini menjadi sebuah
permasalahan ketika kita tidak mampu berkaca secara jujur dengan hati nurani
terhadap kenyataan – kenyataan yang ada di bawah. Referensi awal yang dibawa
oleh kader PMKRI sebenarnya bisa diubah menjadi sebuah semangat untuk membawa
pada sebuah kesetaraan. Inilah yang menjadi masalah.
Itu mungkin sedikit
bedahan atas kekurangan PMKRI selama ini yang bisa saya tangkap dalam
pengineraan saya. Sekalipun bukan tidak mungkin penginderaan saya keliru.
MERUMUSKAN JAWABAN BERSAMA ATAS TANTANGAN YANG ADA
Hal tersulit yang selama ini ada adalah setelah kita dapat membedah kelemahan kita yaitu mencari sebuah upaya bangkit dari kelemahan yang selama ini mengikat PMKRI. Tantangan sudah coba dijabarkan dan telah dipersandingkan dengan kelemahan – kelemahan yang ada selama ini. Saya sebagai sebuah bagian kecil di PMKRI-atau bahkan bukan, mencoba untuk menawarkan sebuah pandangan subyektif saya untuk melaksanakan visi dan misi PMKRI yang sedemikian mulia.
1. Bentuk dan Sifat Organisasi
Ada banyak tawaran untuk menjawab tantangan dan membenahi berbagai kelemahan yang ada. Namun dari berbagai tawaran tersebut saya mencoba memilih sebuah alternatif yang ada. Betuk organisasi merupakan hal pertama – meskipun bukan yang utama- yang menjadi bahasan pencarian.
Bila melihat sejarah dan keberadaan PMKRI kita sudah tidak dapat lagi menjawab tantangan yang ada dengan bentuk organisasi yang birokratis. Kekenyalan oragnisasi menjadi sebuah hal yang patut menjadi point utama, karena itu simplikasi bentuk dan fokus organisasi perlu kita jawagb bersama. Selama ini ketidak fokusan di tingkat cabang diperparah oleh struktur yang juga tidak menunjukkan ketajaman fokus bidang yang menjadi concernnya. Bisa dibayangkan betapa menumpuknya Presidium Gerakan Kemasyarakatan merespon berbagai perubahan masyarakat yang ada yang menyebabkan terombang – ambing oleh isu yang ada. Belum lagi Presidium pendidikan yang hanya berkutat pada bidang – bidang it saja tanpa pernah dapat mengukur keberhasilannnya dalam melakukan proses pendidikan.
STRUKTUR PMKRI
(PARADIGMA
LAMA)
|
STRUKTUR PMKRI
(PARADIGMA BARU)
|
1.
Struktur organisasi yang
“gemuk”
2.
Hierarki dan birokrasi
terlalu panjang, baik pada pengambilan keputusan maupun operasional.
3.
Konservatif dalam pola
pemikiran.
4.
Cenderung feodalistik.
5.
Cenderung elitis dalam gerak
dan aktivitasnya.
6.
Reaktif dalam mengambil
sikap.
7.
Orientasi pendidikan lebih
banyak pedagogik dan militeristik.
8.
Cenderung lebih banyak
retorika daripada bertindak secara konkrit.
|
|
Melihat hal yang sedemikian maka kita
perlu melakukan sebuah reorganisasi dalam tubuh PMKRI secara keseluruhan. Dengan berpedoman pada visi dan misi PMKRI
yang ada, maka sebenarnya dibutuhkan organisasi yang fokus terhadap sebuah
bidang tertentu dengan tidak melupakan bidang yang lainnya. Peran cabang
sebagai sebuah pusat – pusat yang terdiferensiasi menurut concern lokalitasnya
akan ditunjang oleh pengurus pusat sebagai fasilitator yang akan mensuplai
berbagai hal dalam mengembangkannya. Bentuk flat
organization akan memungkinkan PMKRI
berkembang secara lebh optimal.
Jadi apabila di sebuah cabang hak asasi
manusia (HAM) menjadi sebuah isu
strategis yang didasarkan pada kondisi masyarakat lokal, maka cabang tersebut
akan menjadi sebuah pusat bagi pengembangan HAM bagi PMKRI secara nasional.
Peranan pengurus pusat hanya sebatas menjadi fasilitator semata yang akan
mendukung pada tahap – tahap pengembangannya. Cabang – cabang bisa saling
berhubungan secara lebih fleksibel tanpa harus dirisaukan oleh birokrasi yang
ada. Bisa saja ada beberapa cabang yang memiliki concern yang sama-tentu dengan
aksi lokal yang berbeda-, misalnya pemberdayaan buruh, maka itu akan menjadi sebuah jaringan
nasional yang saling menguatkan. Untuk menentukan concern tentu dengan analisis
yang mendalam tentang kondisi lokal yang ada.
Sifat dari organisasi ini bukanlah LSM
namun tetap dalam sebuah kerangka pengkaderan. Hanya dalam pengkaderananpun
perlu memiliki fokus yang jelas. Jadi PMKRI setelah mencoba mereorganisasikan
dirinya tidak terjebak pada pola – pola LSM yang membutuhkan waktu yang lama
untuk berkutat didalamnya. Pendidikan – pendidikan dasar tetap akan dipakai
hanya saja pada tingkatan tertentu hal ini akan coba diarahkan pada wilayah
concern masing – masing cabang.
2.
Management Organisasi
Manajemen digunakan sebagai kata kerja yang artinya mengatur (managing), yang pada dasarnya adalah
proses menyetujui dan mencapai sasaran-sasaran organisasional. Sifat dasar
manajemen adalah lebih pada mendayagunakan (enabling)
daripada mengontrol. Dalam konteks perubahan, manajemen berarti mengantisipasi,
menanggapi, dan mengambil inisiatif untuk memastikan agar perubahan dan
proses-proses perubahan dapat berlangsung dengan cara yang mendukung
kesepakatan dan keberhasilan pencapaian sasaran-sasaran. Memastikan bahwa
perubahan dalam organisasi haruslah bisa
memenuhi tuntutan-tuntutan perubahan di luar organisasi.
Proses dan gaya
manajemen merupakan alat yang efektif dalam mengelola jalannya organisasi.
Namun, perlu dipahami bahwa pengelolaan organisasi tidaklah semudah seperti
pengelolaan pabrik, misalnya, yang dengan gampang kita dapat memencet tombol
mana yang diperlukan agar mesin bekerja. Mengelola
organisasi adalah mengelola manusia, mengelola pengetahuan yang ada di
dalamnya, dan terus-menerus membangkitkan motivasi para anggotanya. Untuk itu, manajemen organisasi yang
diterapkan untuk mendukung kinerja organisasi harus selalu mempertimbangkan
hal-hal di atas tadi.
Manajemen yang
memperlakukan anggota sebagai manusia, bukan mesin, dengan meningkatkan
keterlibatan anggota secara aktif akan mempertahankan apa yang kita sebut
sebagai komitmen bersama. Komitmen
bersama menjadi satu kunci penting keberhasilan sebuah organisasi. Manajemen
yang membawa anggota dan pengurus dapat saling mengkomunikasikan kebutuhan dan
problem yang dirasakan akan mencairkan segala bentuk kendala yang dihadapi
dalam organisasi. Dan karena di dalam organisasi PMKRI kita mengelola manusia
dan pengetahuan yang ada di dalamnya, maka yang perlu selalu dikedepankan
adalah dihargainya sebuah proses yang dialami oleh masing-masing individu yang
berada dalam PMKRI. Orientasi terhadap proses akan lebih efektif daripada kita
hanya mengejar target atau hasil dengan cara yang ketat dan kaku sehingga
cenderung menghilangkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati
dalam arti yang luas. Dengan demikian, dalam mengelola organisasi dengan
praktek manajemennya diharapkan kita tidak akan pernah terlepas dari visi dan
misi PMKRI.
3.
Kultur Organisasi
Kultur atau
budaya terbentuk dari kebiasaan (habits) yang selalu dilakukan dan berlangsung
secara terus-menerus yang terdiri atas pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill),
dan keinginan (desire). Knowledge
is the theoretical paradigm, the what to
do and the why. Skill is the how to do. And desire is the motivation, the want
to do. In order to make something a habitsin our lives, we have to have all
three (Covey, 1990). Ketiga unsur kebiasaan tersebut yang pada akhirnya
membentuk kultur atau budaya. Demikian pula di dalam organisasi PMKRI, ketiga
hal tersebut akan menentukan kultur yang seperti apa yang telah dan akan
terbentuk kemudian. Perebedaan budaya yang terjadi tergantung dari optimalisasi
ketiga unsur kebiasaan tersebut dalam kehidupan organisasi sehari-hari yang
berlangsung secara terus-menerus, baik secara individu maupun tim.
Dalam kaitannya
dengan pembentukan kultur organisasi ini penting kita amemasukkan prinsip
dependence, independence dan interdependence. Dependence is the paradigm of you
– you take care of me, you come
through for me; you didn’t come through; I blame you for the result. Independence is the paradigm of I
– I can do it; I am responsible, I am self-relient; I can choose.
Interdependence is the paradigm of we – we can do it, we can cooperate, we can
combine our talents and abilities and create something greater together (Covey,
1990). Pelaksanaan ketiga prinsip
ini dalam konteks individu maupun tim akan membentuk kultur tertentu dalam
organisasi. Kembali tergantung pada pengelolaan individu dan tim dalam
organisasi yang bersangkutan. Tujuh kebiasaan
paling efektif yang dianjurkan oleh Covey dapat digunakan sebagai referensi
pembentukan kultur organisasi yang efektif.
Bila kita
merefleksikan kultur organisasi PMKRI selama ini barangkali beberapa point
kultur dalam tabel berikut ini akan memotivasi kita untuk mentransformasi
kultur lama kita ke dalam kultur yang baru yang lebih baik yang akan memacu
kinerja organisasi.
KULTUR LAMA
(dengan
kebiasaan yang tidak efektif )
|
KULTUR BARU
(dengan
kebiasaan yang efektif )
|
|
1.Proaktif (be
proactive)
2.Memulai dengan
akhir dari pikiran (tentukan tujuan/goals-nya) (begin with the end in mind)
3.Dahulukan yang
utama (put first things first)
4.Pola pikir
menang/menang (think win/win)
5.Belajar
mengerti orang lain baru dimengerti oleh orang lain (seek first to
understand, then to be understood)
6.Sinergi
(synergize)
7.Mengasah
gergaji, terus belajar , learning organization(sharpen the saw)
|
BAGAIMANA KITA MELAKUKAN SEBUAH LONCATAN
Pada bagian ini, kita memang
memasuki sebuah pentahapan yang selama ini menjadi perdebatan yang cukup
panjang. Bagian ini sangat sulit karena kita dituntut untuk melakukan sebuah
imajinasi yang rasional disertai prediksi – prediksi keadaan yang harus
dilalui. Setiap orang tentu akan mendapatkan dirinya satu sama lain pada posisi
yang berbeda – beda dengan dilandasi oleh materi yang selama ini ada. Namun
saya sendiri hanya sebatas mencoba untuk menawarkan sebuah gagasan untuk membuat sebuah kemajuan
yang pada akhirnya diharapkan dapat keluar dari stagnasi praksis transformasi
organisasi.
1. Pencarian
posisi organisasi
Bagian awal dari
praksis dari proses transformasi yang ada harus dilakukan bukan berawal pada
tingkatan Pengurus Pusat, namun justru berawal dari cabang – cabang. Analisa
harus dimulai dengan membedah kekuatan dan kelemahan cabang – cabang. Dari kelemahan dan kekuatan cabang tersebut
kita harus mencoba melihat berbagai hal yang dapat menjadi sebuah ancaman
maupun peluang bagi cabang yang sangat bersifat lokal. Ancaman dan peluang ini
harus dianalisis dengan tetap melihat bagaimana kondisi ancaman dan peluang
yang ada secara nasional. Setelah melalui tahapan ini kita akan menghasilkan
gambaran lebih jelas dari kondisi yang ada di cabang.Pada titik mana cabang
berada dan dapat melakukan apa saja.
2. Penetapan satu isu strategis
Dalam
pandangan saya, setelah kita menentukan bagaimana kondisi dan posisi cabang,
maka selanjutnya kita harus dapat menentukan berbagai isu strategis yang dapat
dilakukan. Dalam menentukan isu strategis ini dilakukan dengan melihat kondisi
lokal daerah tempat dimana cabang itu berada. Tanpa melupakan misi PMKRI, kita dapat menentukan pada
wilayah mana cabang memusatkan perhatiannya. Untuk itu persyaratan yang harus
dipenuhi adalah setiap cabang cukup menentukan satu saja isu stretegis yang
sesuai dengan kondisi masyarakat lokal.
Penetuan
satu isu strategis ini dilakukan dengan mendaftar berbagai isu yang mungkin diambil oleh cabang. Satu isu
strategis akan menjadi satu – satunya isu yang akan menjadi fokus dengan tetap
membuat respon atas wilayah – wilayah concern yang lain. Isu strategis ini akan
diturunkan pada kebutuhan – kebutuhan berikutnya. Komitmen tegas untuk
menentukan satu isu stretegis akan membuat cabang – cabang dapat menggali
potensinya lebih dalam.
3. Penentuan
waktu dan materi bagi evaluasi dan monitoring.
Perlu menjadi
peringatan di sini adalah tentang diperlukannya alokasi waktu untuk membuat
sebuah ukuran bagi sebuah evaluasi. Penentuan waktu evaluasi ini diperlukan
bagi kelangsungan organisasi dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan yang menjadi
turunan dari isu – isu strategis. Misalnya ketika memilih isu strategis tentang
pemberdayaan anak jalanan, maka perlu ditentukan waktu bagi pemenuhan kebutuhan seperti
metode pengorganisiran anak, penyediaan rumah singgah, atau pola - pola pembinaan yang memungkinkan, serta
bagaimana jaringan bisa terbentuk.
Di
samping waktu, materi evaluasi juga perlu ditetapkan. Materi evaluasi ini
sekaligus merupakan sebuah terget antara bagi setiap pentahapan. Materi
pembentukan jaringan perlu dievaluasi dengan melihat target jaringan baik dari
sisi jumlah maupun efektifitas serta impact yang ditimbulkan dari pembentukan
jaringan.
Sumber : PP PMKRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar