Pada dasarnya pembangunan merupakan kebijakan
sadar, dibuat pemerintah secara terencana yang diarahkan dengan tujuan mulia
yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Wilayah yang
memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala
kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta
isinya. Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas
nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan
kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi
bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah
dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap
kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan
hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini. Atas nama
pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang
kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini
secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa
menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan
menghilangkan fungsi hutan.
Kebijakan perluasan perkebunan
sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek
keuntungan bisnis (ekonomi) semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan
ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi
pertimbangan justeru seringkali diabaikan. Akibatnya, cita-cita pembangunan itu
malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah
kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah
pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah
merugikan masyarakat dan lingkungannya yang sedianya dilindungi oleh Negara
(Pemerintah)?
Menumbuhkan kesadaran rakyat
dengan memahami sejumlah TULAH sebagai akibat dari kebijakan perluasan
perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi
kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis
berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya
negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya
menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli)
terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi)
pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat
menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal
“mencerdaskan” warganya. 17 Tulah berikut hendaknya dapat memberikan gambaran
dan pemahaman mengenai dampak buruk yang diwariskan dan harus dicegah sebelum
terjadi atas upaya penguasaan lahan melalui investasi modal (perkebunan sawit)
skala besar:
1. Tanah masyarakat diambil
perusahaan
Pihak pemodal (investor) bukanlah
tuan tanah atau pemilik tanah. Pemodal (investor) hanyalah pihak yang justeru
tidak memiliki modal tanah sejengkalpun. Tetapi kemudian mengapa pemodal dapat membuka usaha diatas tanah yang berasal dari
bukan milik (perusahaan) nya? Dalam prakteknya, pembukaan kawasan hutan melalui
perkebunan sawit lebih banyak mendapatkan lahan dari masyarakat hanya dihargai
alakadarnya (diganti rugi). Bahkan lahan/hutan masyarakat dalam banyak kasus
diserobot paksa pihak perusahaan tanpa keinginan dan sepengetahuan warga.
Kondisi seperti ini memberi ruang bahwa tanah yang dijadikan wilayah konsesi
perusahaan tersebut dengan sendirinya akan menjadi milik pihak pemodal karena
akan dianggap telah dilakukan proses jual beli setelah melakukan ganti rugi tersebut.
Upaya penguasaan atas tanah warga dengan cara yang tidak memenuhi rasa keadilan
sama artinya dengan mengambil tanah warga.
2. Konflik terjadi di
masyarakat
Potensi konflik tentu selalu ada
dimana saja dan kapan saja. Masyarakat juga pada prinsipnya tidak menginginkan
konflik terjadi. Dalam banyak kasus terkait dengan pembukaan kawasan untuk
perkebunan monokultur (sawit), konflik itu hadir dan bahkan meresahkan
masyarakat. Konflik kepentingan yang diwarnai dengan penguasaan tanah,
perebutan tapal batas, pemenuhan rasa ketidakadilan dan saling curiga antar
warga biasanya sangat riskan menyulut ketegangan dimasyarakat. Tidak adanya
niat baik pihak perusahaan yang didukung pemberi izin (pihak terkait) serta
pemaksaan kehendak melalui kebijakan dan kekuasaan, sementara warga tidak
diberikan kemerdekaan maupun informasi utuh untuk menentukan pilihan secara
sadar atas produk pembangunan seringkali menjadi persoalan mendasar munculnya
konflik.
3. Kriminalisasi terhadap
masyarakat
Masyarakat yang dengan sadar
berjuang untuk mempertahankan hutan-tanah-air seringkali dianggap sebagai pihak
yang anti dan menghalangi-halangi pembangunan. Pada tataran ini tangan aparat
digunakan oleh pihak perusahaan untuk mempersalahkan (tokoh) masyarakat yang
dianggap sebagai motor penggerak perlawanan terhadap perusahaan. Kasus yang
menimpa warga Semunying Jaya, Pelaik Keruap, Silat Hulu hingga masuk bui karena
mempertahankan tanah leluhurnya adalah bentuk kriminalisasi masyarakat yang
terjadi akhir-akhir ini.
4. Budaya di masyarakat
hilang
Upaya penghilangan identitas
dimasyarakat berupa ritus budaya seperti pantex, pantak, empagu’
dan bahkan lokasi kuburan warga serta tempat keramat lainnya saat pembukaan
kawasan untuk perkebunan seringkali terjadi. Demikian juga kebijakan perluasan
kawasan untuk perkebunan swait di daerah perkampungan yang terjadi saat ini
menambah kian menyempitnya lahan garapan pertanian/ladang dan kawasan kelola
lainnya. Hal ini kemudian sangat memungkinkan hilangnya budaya yang dimiliki
masyarakat, malah sikap individualis, ego sektoral muncul di masyarakat. Mental
”gajian”, instan dan pragmatis karena telah dibentuk dengan sistem yang
diberlakukan diperusahaan, seringkali malah mampu menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara komunal di kampung seperti budaya
gotong royong, solidaritas antar warga dan pelaksanaan kebiasaan melakukan
spiritual.
5. Krisis pangan di kampung
Akibat dari hutan masyarakat
dibabat untuk perkebunan skala besar adalah lahan untuk bertani, mencari lauk,
sayuran dan obat-obatan juga kian menyempit. Kawasan sumber pangan warga
otomatis hilang, sehingga krisis sumber pangan sangat mungkin terjadi. Hal ini
kian diperparah dengan sikap dan pola pikir masyarakat yang cenderung instan,
sementara kearifan lokal untuk bertahan hidup dengan memaksimalkan potensi
sumber daya alam yang dimiliki tidak mampu dipertahankan karena begitu besarnya
pengaruh modal dan arus globalisasi. Sumber produksi masyarakat yang
mengandalkan hasil alam hilang.
6. Hutan menjadi hilang
Pembukaan kawasan untuk
perkebunan sawit dalam skala yang besar, membutuhkan hutan masyarakat yang juga
sangat luas. Bukan hanya hutan menjadi hilang, namun pembukaan kawasan hutan
skala besar melalui perkebunan sawit yang tanpa menyisakan sebatang pohonpun
sama artinya dengan meniadakan fungsi hutan. Dampaknya jauh lebih dasyat dari illegal
logging (pengambilan kayu secara tidak sah) yang hanya tebang pilih. Akan
tetapi tentu saja baik illegal logging maupun “legal logging“
keduanya tidak diinginkan. Keduanya merusak.
7. Binatang dihutan Musnah
Hutan merupakan tempat hidup
beraneka jenis binatang. Ketika hutan dibabat, jelaslah bahwa kehidupan mereka
terancam karena rumah tinggal binatang dirusak. Akibatnya binatang yang
diantaranya sebagai sumber lauk otomatis akan berkurang dan bahkan hilang.
Kejadian di beberapa tempat di Indonesia, yang mana sekawanan binatang
menyerang perkampungan dan bahkan merusak serta hampir membinasakan warga
karena hutan telah dirambah kiranya dapat menjadi pelajaran. Contoh kasus
Orangutan hampir membunuh manusia saat sedang menoreh karet di Kalimantan
Tengah sangat miris, karena hutan habitatnya yang kian punah dan Buaya yang
mengganas dan bahkan sampai memakan korban di Kubu Raya, Kalimantan Barat
karena hutan mangrove dibabat. Tentunya hal seperti ini tidak kita inginkan
terjadi bukan?
8. Tumbuhan obat-obatan di
hutan hilang
Hutan merupakan ”apotik”
masyarakat, dalam artian bahwa hutan sebagai sumber obat-obatan masyarakat. Dan
bahkan obat-obatan yang saat ini dijual dalam bentuk kapsul, serbuk dan cair di
pasaran bersumber dari kekayaan flora maupun fauna yang sebagian besar didapat
di alam (hutan). Hutan hilang, maka obat-obatan juga pasti terancam hilang.
9. Terjadi bencana banjir
Hutan juga sebagai kawasan
penyangga dan penyerap dan bahkan penyedia air.
Menahan kawasan dari ancaman erosi, longsor, dan berbagai ancaman
bencana alam lainnya, termasuk banjir. Bila kawasan hutan dibuka secara tak
terkendali, apalagi dalam skala yang besar melalui perkebunan yang sama artinya
meniadakan fungsi hutan, maka bencana banjir menjadi konsekuensi logis yang mau
tidak mau harus diterima. Jumlah dan daya rusak banjir akan menjadi jauh lebih
dasyat manakala kawasan hutan semakin luas yang digunduli. Warga kampung hingga
perkotaan mengalami dampak dari banjir ini.
10. Terjadi bencana
kekeringan
Disamping bencana banjir, bencana
lainnya akibat dibukanya hutan skala besar adalah potensi kekeringan yang
berdampak terbatasnya ketersediaan sumber air bersih, produktifitas pertanian
masyarakat menurun karena drainase pengairan menipis dan bahkan sulit didapat.
Tingginya suhu bumi melalui pemanasan globalnya kian memungkinkan ancaman
kekeringan itu terjadi.
11. Terjadi bencana asap
Kasus yang menimpa Ir. Karsan
Sukardi selaku Kepala Dinas Perkebunan Kalbar ditahun 1997 yang dihukum adat capa
molot karena asal bicara dan menuduh peladang sebagai penyebab kebakaran
hutan dan kabut kiranya baik menjadi pelajaran betapa persoalan kabut asap
tidak sesederhana yang dibayangkan. Pembukaan kawasan hutan melalui perkebunan
monokultur skala besar yang terjadi saat itu dan bahkan sering terjadi
akhir-akhir ini yang dilakukan dengan cara membakar (meski hal ini sebenarnya
tidak dibenarkan) dalam membersihkan lahan (land cleaning) menyebabkan
bencana asap dimaksud. Dampak negatif bagi kesehatan terjadinya gangguan
pernafasan dan radang tenggorokan (ISPA). Akibat lainnya adalah warga merasa
resah karena sejumlah aktifitas warga terganggu. Sementara peladang didaerah
seringkali dikambinghitamkan sebagai penyebab kabut asap, sekalipun kemudian
publik disadarkan bahwa biang dari kabut asap tersebut adalah didominasi karena
aktivitas pembakaran yang terjadi di kawasan konsesi perkebunan.
12. Terjadi krisis air bersih
Sisi lain dari hutan adalah
memiliki kemampuan untuk melakukan filterisasi (menyaring) dan mensterilkan air
secara alami. Dengan dibabatnya hutan melalui perkebunan sawit skala besar
secara otomatis pula biasanya diiringi dengan tertimbunnya dan atau
pendangkalan sejumlah sungai disekitarnya. Disamping itu, sungai juga menjadi
sasaran empuk bagi pembuangan limbah aktifitas dari pembukaan perkebunan.
Fenomena diatas tentunya menjadi ancaman serius bagi ketersediaan air bersih
bagi masyarakat. Ketika hutan dibabat, sungai ditimbun dan bahkan dijadikan
pembuangan limbah maka sungai sebagai sumber andalan air bersih warga selama
ini menjadi tercemar hingga tidak layak konsumsi.
13. Lahan Gambut Rusak
Ekosistem lahan gambut sangat
penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan
air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar.
Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap
kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu
hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air.
Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 yang
memberikan ruang mengenai dapat dibukanya lahan gambut untuk perkebunan sawit
jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal
mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun
1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu
diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata,
karena kita tidak punya cadangan bumi baru.
14. Penyumbang terjadinya
pemanasan global dan perubahan iklim.
Dalam pemahaman singkatnya, pemanasan
global merupakan keadaan meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi yang
diakibatkan terlepasnya emisi diatmosfir yang mempengaruhi lapisan ozon.
Akumulasi dari pemanasan global menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim
yang dalam tataran realita dilapangan memberikan pengaruh negatif bagi sistem
sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil
tangkapan perikanan para nelayan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut
sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2)
digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi
menambah meningkatnya suhu bumi.
15. Penyumbang emisi
karbondioksida diatmosfir
Penebangan pohon melalui
pembukaan kawasan hutan skala besar secara otomatis melepaskan emisi dan juga
mengurangi tutupan kawasan penyerap emisi (hutan). Dengan demikian peran
tanaman dari hutan yang telah ditebang tidak lagi dapat menyerap emisi, namun
melepas emisi berupa karbondioksida (CO2). Apa lagi bila dilakukan dengan membakar
lahan.
16. Tanam tumbuh dan
Tembawang masyarakat menjadi lenyap.
Masuknya perusahaan yang membuka
kawasan disekitar hutan perkampungan masyarakat seringkali diiringi dengan
pembabatan dan perambahan secara paksa atas tanah yang jelas-jelas memiliki alas
hak seperti tanam tumbuh (kebun karet, durian) dan lokasi tembawang (wilayah
yang dimiliki oleh masyarakat lokal secara komunal). Dengan demikian, kondisi
seperti ini berpotensi melenyapkan tanam tumbuh dan tembawang yang dimiliki
masyarakat di daerah. Selagi pembukaan kawasan hutan melalui perkebunan
monokultur terus diperluas dikawasan kelola masyarakat, saat itu pula tanam
tumbuh dan tembawang warga yang dimiliki baik secara pribadi maupun komunal
pasti akan digarap.
17. Sungai-sungai menjadi
rusak.
Pembukaan kawasan hutan yang
diiringi dengan penimbunan sungai-sungai dan pencemaran sungai sebagai tempat
sasaran pembuangan limbah dari aktivitas perusahaan, pencemaran dari zat kimia
seperti pupuk dan sejenisnya yang terbawa kesungai menjadikan kondisi sungai
tidak lagi normal. Pencemaran seperti ini selanjutnya merusak sungai yang ada
disekitar perkampungan warga.
sumber : WALHI KALBAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar