"Selamat Datang Di Blog Pro Ecclesia Et Patria"

Minggu, 25 Maret 2012

17 Tulah Yang diwariskan oleh Perluasan Perkebunan (Sawit) Skala Besar


Pada dasarnya pembangunan merupakan kebijakan sadar, dibuat pemerintah secara terencana yang diarahkan dengan tujuan mulia yakni untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Wilayah yang memiliki potensi untuk memberikan kesejahteraan tersebut meliputi segala kekayaan yang ada diperut bumi ini, yakni berupa hutan-tanah-air-beserta isinya. Namun demikian, sadarkah kita kalau ”rayuan” kesejahteraan atas nama pembangunan itu seringkali malah jauh dari harapan? Kebijakan pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan monokultur (sawit) boleh menjadi bukti betapa kebijakan pembangunan disektor ini telah memberikan sejumlah dampak yang tidak menguntungkan bagi masa depan lingkungan, maupun terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat kita yang sebagian besar mengandalkan hidup dan kehidupannya dari hasil sumber daya alam selama ini. Atas nama pembangunan, hutan-tanah-air sebagai sumber hidup dan kehidupan diambang kehancuran. Hutan sebagai ”apotik dan supermarket” masyarakat selama ini secara pasti hilang, karena pembukaan kawasan hutan skala besar tanpa menyisakan sebatang pohon pun seperti perkebunan sawit sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan.
Kebijakan perluasan perkebunan sawit melalui program pembangunan dalam kenyataannya lebih mengedepankan aspek keuntungan bisnis (ekonomi) semata, sementara aspek sosial, adat-budaya dan ekologi yang harusnya mendapatkan tempat teratas yang turut menjadi pertimbangan justeru seringkali diabaikan. Akibatnya, cita-cita pembangunan itu malah kandas dan menyisakan masalah bagi warga. Bila demikian, pantaskah kebijakan dengan ”rayuan” kesejahteraan tersebut dikatakan sebagai sebuah pembangunan bila hasilnya bukan malah memberikan kemakmuran, tetapi malah merugikan masyarakat dan lingkungannya yang sedianya dilindungi oleh Negara (Pemerintah)?
Menumbuhkan kesadaran rakyat dengan memahami sejumlah TULAH sebagai akibat dari kebijakan perluasan perkebunan monokultur yang juga sekaligus sebagai potensi ancaman bagi kehidupan sosial dan ekologi menjadi penting. Ketika rakyat kian kritis berjuang secara sadar dan berdaulat atas sumber daya alam, maka sesungguhnya negara berhasil ”mencerdaskan” warganya. Sebaliknya, bila warganya hanya menjadi penonton dan bukan tuan serta hanya bersifat acuh (tidak peduli) terhadap kebijakan pembangunan (tidak memiliki keinginan untuk berpartisipasi) pengelolaan sumber daya alam misalnya, maka patut dipertanyakan serta dapat menjadi sebuah refleksi bahwa sesungguhnya negara (pemerintah) gagal “mencerdaskan” warganya. 17 Tulah berikut hendaknya dapat memberikan gambaran dan pemahaman mengenai dampak buruk yang diwariskan dan harus dicegah sebelum terjadi atas upaya penguasaan lahan melalui investasi modal (perkebunan sawit) skala besar:

1.      Tanah masyarakat diambil perusahaan
Pihak pemodal (investor) bukanlah tuan tanah atau pemilik tanah. Pemodal (investor) hanyalah pihak yang justeru tidak memiliki modal tanah sejengkalpun. Tetapi kemudian mengapa pemodal dapat  membuka usaha diatas tanah yang berasal dari bukan milik (perusahaan) nya? Dalam prakteknya, pembukaan kawasan hutan melalui perkebunan sawit lebih banyak mendapatkan lahan dari masyarakat hanya dihargai alakadarnya (diganti rugi). Bahkan lahan/hutan masyarakat dalam banyak kasus diserobot paksa pihak perusahaan tanpa keinginan dan sepengetahuan warga. Kondisi seperti ini memberi ruang bahwa tanah yang dijadikan wilayah konsesi perusahaan tersebut dengan sendirinya akan menjadi milik pihak pemodal karena akan dianggap telah dilakukan proses jual beli setelah melakukan ganti rugi tersebut. Upaya penguasaan atas tanah warga dengan cara yang tidak memenuhi rasa keadilan sama artinya dengan mengambil tanah warga.

2.      Konflik terjadi di masyarakat
Potensi konflik tentu selalu ada dimana saja dan kapan saja. Masyarakat juga pada prinsipnya tidak menginginkan konflik terjadi. Dalam banyak kasus terkait dengan pembukaan kawasan untuk perkebunan monokultur (sawit), konflik itu hadir dan bahkan meresahkan masyarakat. Konflik kepentingan yang diwarnai dengan penguasaan tanah, perebutan tapal batas, pemenuhan rasa ketidakadilan dan saling curiga antar warga biasanya sangat riskan menyulut ketegangan dimasyarakat. Tidak adanya niat baik pihak perusahaan yang didukung pemberi izin (pihak terkait) serta pemaksaan kehendak melalui kebijakan dan kekuasaan, sementara warga tidak diberikan kemerdekaan maupun informasi utuh untuk menentukan pilihan secara sadar atas produk pembangunan seringkali menjadi persoalan mendasar munculnya konflik.

3.      Kriminalisasi terhadap masyarakat
Masyarakat yang dengan sadar berjuang untuk mempertahankan hutan-tanah-air seringkali dianggap sebagai pihak yang anti dan menghalangi-halangi pembangunan. Pada tataran ini tangan aparat digunakan oleh pihak perusahaan untuk mempersalahkan (tokoh) masyarakat yang dianggap sebagai motor penggerak perlawanan terhadap perusahaan. Kasus yang menimpa warga Semunying Jaya, Pelaik Keruap, Silat Hulu hingga masuk bui karena mempertahankan tanah leluhurnya adalah bentuk kriminalisasi masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.

4.      Budaya di masyarakat hilang
Upaya penghilangan identitas dimasyarakat berupa ritus budaya seperti pantex, pantak, empagu’ dan bahkan lokasi kuburan warga serta tempat keramat lainnya saat pembukaan kawasan untuk perkebunan seringkali terjadi. Demikian juga kebijakan perluasan kawasan untuk perkebunan swait di daerah perkampungan yang terjadi saat ini menambah kian menyempitnya lahan garapan pertanian/ladang dan kawasan kelola lainnya. Hal ini kemudian sangat memungkinkan hilangnya budaya yang dimiliki masyarakat, malah sikap individualis, ego sektoral muncul di masyarakat. Mental ”gajian”, instan dan pragmatis karena telah dibentuk dengan sistem yang diberlakukan diperusahaan, seringkali malah mampu menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara komunal di kampung seperti budaya gotong royong, solidaritas antar warga dan pelaksanaan kebiasaan melakukan spiritual.

5.      Krisis pangan di kampung
Akibat dari hutan masyarakat dibabat untuk perkebunan skala besar adalah lahan untuk bertani, mencari lauk, sayuran dan obat-obatan juga kian menyempit. Kawasan sumber pangan warga otomatis hilang, sehingga krisis sumber pangan sangat mungkin terjadi. Hal ini kian diperparah dengan sikap dan pola pikir masyarakat yang cenderung instan, sementara kearifan lokal untuk bertahan hidup dengan memaksimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki tidak mampu dipertahankan karena begitu besarnya pengaruh modal dan arus globalisasi. Sumber produksi masyarakat yang mengandalkan hasil alam hilang.

6.      Hutan menjadi hilang
Pembukaan kawasan untuk perkebunan sawit dalam skala yang besar, membutuhkan hutan masyarakat yang juga sangat luas. Bukan hanya hutan menjadi hilang, namun pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan sawit yang tanpa menyisakan sebatang pohonpun sama artinya dengan meniadakan fungsi hutan. Dampaknya jauh lebih dasyat dari illegal logging (pengambilan kayu secara tidak sah) yang hanya tebang pilih. Akan tetapi tentu saja baik illegal logging maupun “legal logging“ keduanya tidak diinginkan. Keduanya merusak.

7.      Binatang dihutan Musnah
Hutan merupakan tempat hidup beraneka jenis binatang. Ketika hutan dibabat, jelaslah bahwa kehidupan mereka terancam karena rumah tinggal binatang dirusak. Akibatnya binatang yang diantaranya sebagai sumber lauk otomatis akan berkurang dan bahkan hilang. Kejadian di beberapa tempat di Indonesia, yang mana sekawanan binatang menyerang perkampungan dan bahkan merusak serta hampir membinasakan warga karena hutan telah dirambah kiranya dapat menjadi pelajaran. Contoh kasus Orangutan hampir membunuh manusia saat sedang menoreh karet di Kalimantan Tengah sangat miris, karena hutan habitatnya yang kian punah dan Buaya yang mengganas dan bahkan sampai memakan korban di Kubu Raya, Kalimantan Barat karena hutan mangrove dibabat. Tentunya hal seperti ini tidak kita inginkan terjadi bukan?

8.      Tumbuhan obat-obatan di hutan hilang
Hutan merupakan ”apotik” masyarakat, dalam artian bahwa hutan sebagai sumber obat-obatan masyarakat. Dan bahkan obat-obatan yang saat ini dijual dalam bentuk kapsul, serbuk dan cair di pasaran bersumber dari kekayaan flora maupun fauna yang sebagian besar didapat di alam (hutan). Hutan hilang, maka obat-obatan juga pasti terancam hilang.

9.      Terjadi bencana banjir
Hutan juga sebagai kawasan penyangga dan penyerap dan bahkan penyedia air.  Menahan kawasan dari ancaman erosi, longsor, dan berbagai ancaman bencana alam lainnya, termasuk banjir. Bila kawasan hutan dibuka secara tak terkendali, apalagi dalam skala yang besar melalui perkebunan yang sama artinya meniadakan fungsi hutan, maka bencana banjir menjadi konsekuensi logis yang mau tidak mau harus diterima. Jumlah dan daya rusak banjir akan menjadi jauh lebih dasyat manakala kawasan hutan semakin luas yang digunduli. Warga kampung hingga perkotaan mengalami dampak dari banjir ini.

10. Terjadi bencana kekeringan
Disamping bencana banjir, bencana lainnya akibat dibukanya hutan skala besar adalah potensi kekeringan yang berdampak terbatasnya ketersediaan sumber air bersih, produktifitas pertanian masyarakat menurun karena drainase pengairan menipis dan bahkan sulit didapat. Tingginya suhu bumi melalui pemanasan globalnya kian memungkinkan ancaman kekeringan itu terjadi.

11. Terjadi bencana asap
Kasus yang menimpa Ir. Karsan Sukardi selaku Kepala Dinas Perkebunan Kalbar ditahun 1997 yang dihukum adat capa molot karena asal bicara dan menuduh peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan kabut kiranya baik menjadi pelajaran betapa persoalan kabut asap tidak sesederhana yang dibayangkan. Pembukaan kawasan hutan melalui perkebunan monokultur skala besar yang terjadi saat itu dan bahkan sering terjadi akhir-akhir ini yang dilakukan dengan cara membakar (meski hal ini sebenarnya tidak dibenarkan) dalam membersihkan lahan (land cleaning) menyebabkan bencana asap dimaksud. Dampak negatif bagi kesehatan terjadinya gangguan pernafasan dan radang tenggorokan (ISPA). Akibat lainnya adalah warga merasa resah karena sejumlah aktifitas warga terganggu. Sementara peladang didaerah seringkali dikambinghitamkan sebagai penyebab kabut asap, sekalipun kemudian publik disadarkan bahwa biang dari kabut asap tersebut adalah didominasi karena aktivitas pembakaran yang terjadi di kawasan konsesi perkebunan.

12. Terjadi krisis air bersih
Sisi lain dari hutan adalah memiliki kemampuan untuk melakukan filterisasi (menyaring) dan mensterilkan air secara alami. Dengan dibabatnya hutan melalui perkebunan sawit skala besar secara otomatis pula biasanya diiringi dengan tertimbunnya dan atau pendangkalan sejumlah sungai disekitarnya. Disamping itu, sungai juga menjadi sasaran empuk bagi pembuangan limbah aktifitas dari pembukaan perkebunan. Fenomena diatas tentunya menjadi ancaman serius bagi ketersediaan air bersih bagi masyarakat. Ketika hutan dibabat, sungai ditimbun dan bahkan dijadikan pembuangan limbah maka sungai sebagai sumber andalan air bersih warga selama ini menjadi tercemar hingga tidak layak konsumsi. 

13. Lahan Gambut Rusak
Ekosistem lahan gambut sangat penting bagi lingkungan hidup karena merupakan penyangga hidrologi (penyimpan air, pencegah banjir) dan sebagai penyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Gambut merupakan ekosistem penting yang dapat memberikan sumbangan terhadap kestabilan iklim global. Sebagai kawasan dengan tipe lahan basah, salah satu hal penting dari lahan gambut dapat mengatur keseimbangan pelepasan air. Lahirnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 yang memberikan ruang mengenai dapat dibukanya lahan gambut untuk perkebunan sawit jelas menjadi ancaman bagi ekosistem gambut dan masa depan bumi. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut juga telah diatur dalam Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Lahan gambut Kalbar seluas 1,72 juta Ha perlu diselamatkan dari kebijakan yang hanya mengutamakan keuntungan ekonomi semata, karena kita tidak punya cadangan bumi baru. 

14. Penyumbang terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.
Dalam pemahaman singkatnya, pemanasan global merupakan keadaan meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi yang diakibatkan terlepasnya emisi diatmosfir yang mempengaruhi lapisan ozon. Akumulasi dari pemanasan global menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim yang dalam tataran realita dilapangan memberikan pengaruh negatif bagi sistem sosial budaya, ekologi, produktifitas hasil pertanian warga, maupun hasil tangkapan perikanan para nelayan. Ketika hutan tropis maupun kawasan gambut sebagai kawasan penyangga, pengatur hidrologi air, penyerap emisi (karbondioksida/CO2) digunduli oleh kebijakan investasi perkebunan sawit, maka jelas berkontribusi menambah meningkatnya suhu bumi.

15. Penyumbang emisi karbondioksida diatmosfir
Penebangan pohon melalui pembukaan kawasan hutan skala besar secara otomatis melepaskan emisi dan juga mengurangi tutupan kawasan penyerap emisi (hutan). Dengan demikian peran tanaman dari hutan yang telah ditebang tidak lagi dapat menyerap emisi, namun melepas emisi berupa karbondioksida (CO2). Apa lagi bila dilakukan dengan membakar lahan.

16. Tanam tumbuh dan Tembawang masyarakat menjadi lenyap.
Masuknya perusahaan yang membuka kawasan disekitar hutan perkampungan masyarakat seringkali diiringi dengan pembabatan dan perambahan secara paksa atas tanah yang jelas-jelas memiliki alas hak seperti tanam tumbuh (kebun karet, durian) dan lokasi tembawang (wilayah yang dimiliki oleh masyarakat lokal secara komunal). Dengan demikian, kondisi seperti ini berpotensi melenyapkan tanam tumbuh dan tembawang yang dimiliki masyarakat di daerah. Selagi pembukaan kawasan hutan melalui perkebunan monokultur terus diperluas dikawasan kelola masyarakat, saat itu pula tanam tumbuh dan tembawang warga yang dimiliki baik secara pribadi maupun komunal pasti akan digarap.

17. Sungai-sungai menjadi rusak.
Pembukaan kawasan hutan yang diiringi dengan penimbunan sungai-sungai dan pencemaran sungai sebagai tempat sasaran pembuangan limbah dari aktivitas perusahaan, pencemaran dari zat kimia seperti pupuk dan sejenisnya yang terbawa kesungai menjadikan kondisi sungai tidak lagi normal. Pencemaran seperti ini selanjutnya merusak sungai yang ada disekitar perkampungan warga.


sumber : WALHI KALBAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar