Srotsky dan Stali |
Diantara sekian banyak bapak pendiri Republik, Soekarno
adalah salah satu penjelajah pemikiran yang paling luas. Ia belajar tentang
kebudayaan Jawa dan mistik, hinduisme dan budhisme, nasionalisme, sosialisme,
hingga komunisme. Pemikir-pemikir marxis, mulai dari yang moderat hingga paling
radikal, pun semua dilahapnya dengan baik. Sebut saja Hendri de Man (Belgia)
Pieter Troelstra (Belanda), Jean Jaures (Perancis), Karl Kautsky, Rosa
Luxemburg, Clara Zetkin, dan Karl Liebknecht (Jerman) hingga Lenin, Stalin, dan
Trotsky (Rusia).
Dalam pidato 1 Juni 1945 tentang lahirnya Pancasila, yang
disampaikan di hadapan militer-fasis Jepang, Bung Karno menceritakan bagaimana
Lenin, pemimpin revolusi sosialis yang besar itu, membangun Uni-Soviet.
Bayangkan, saat berbicara tentang dasar dari negara yang akan dibentuk, Bung
Karno bercerita soal Lenin dan Uni Soviet. Ternyata, selain mengulas
pemikiran-pemikiran itu, Bung Karno juga kadang-kadang membenturkannya. Salah
satunya adalah membenturkan pemikiran Leon Trotsky tentang revolusi permanen
dan teori sosialisme satu negara-nya Stalin.
Tidak tanggung-tanggung pula, Bung Karno mengulas perbedaan
kedua tokoh Soviet ini di depan peserta kursus Pancasila di Istana negara,
tahun 1958. Saat itu, Bung Karno sedang menjelaskan soal bagaimana keadilan
sosial bukan hanya dipraktekkan dalam lingkungan Indonesia saja, tetapi juga
untuk seluruh umat manusia. “Perjuangan yang hebat atau katakanlah
gedachtestrijd yang hebat di Uni-Soviet beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu
gedachtestrijd yang hebat sekali antara golongan yang dikepalai oleh Leon
Trotsky dan golongan yang dikepalai oleh Stalin,” kata Bung Karno memulai
penjelasannya.
Menurut
Bung Karno, baik Trotsky maupun Stalin menghendaki masyarakat adil dan makmur
ala Rusia. “Dua-duanya menghendaki komunisme, dua-duanya menghendaki hilangnya
stelsel kapitalisme, dua-duanya menghendaki manusia tidak dihisap oleh manusia
lain….dua-duanya menghendaki masyarakat sama-rata sama-rasa tanpa kapitalisme.”
Pemikiran Trotsky, kata Bung Karno, dilandaskan kepada
kesimpulan bahwa kapitalisme tidak hanya bersarang di Rusia saja, tapi bercokol
di seluruh dunia. “Kita tidak dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau
komunis di Rusia saja, jikalau kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di
lain-lain negeri,” katanya berusaha menjelaskan gagasan Leon Trotsky. Oleh
karena itu, menurut Soekarno, Leon Trotsky menuntut agar supaya revolusi yang
diadakan di Uni-Soviet diteruskan ke negeri-negeri lain, dijadikan satu
revolusi Internasional. “Kita punya revolusi haruslah suatu revolusi permanen,
revolusi yang terus-menerus dan memusatkan perhatian kepada revolusi
terus-menerus itu…..terus gempur, gempur di segala lapangan, di segala hari, di
segala negeri, revolusi sosialis adalah satu revolusi permanen, kalau
sosialisme hendak dicapai,” kata Bung Karno menirukan perkataan Trotsky (versi
Bung Karno, tentunya).
Sedangkan Stalin, pemimpin Soviet yang berkuasa saat itu,
mengambil jalan berfikir yang lain: sosialisme di dalam suatu negara dulu.
Fikiran Stalin, kata Bung Karno, bertumpu pada kesimpulan bahwa pembangunan
sosialisme membutuhkan pembangunan benteng proletariat lebih dahulu. Oleh
karena itu, dalam logika Stalin, perlu untuk memperkuat Uni-Soviet sebagai
benteng kaum proletariat, dan tidak usah terlalu memikirkan penciptaan revolusi
di negara lain. “Pusatkan engkau punya perhatian lebih dahulu kepada
pemerkuatan benteng yang telah ada di tangan kita,” kata Bung Karno menirukan
pernyataan Stalin.
Dua faham ini terlibat bentrokan, sampai-sampai terjadi apa
yang disebut Bung Karno sebagai “ de strijd om de macht”. Bung Karno
menceritakan bagaimana Trotsky yang kalah harus dibuang oleh Stalin ke Alma
Ata, lalu diasingkan ke luar negeri. Ketika masih di Meksiko, kata Bung Karno,
Leon Trotsky masih terus mengajarkan teori revolusi permanennya dan tidak
henti-hentinya mengeritik Stalin. “Suatu hari, orang pengikut Stalin atau alat
Stalin menghabisi ia punya jiwa dengan membacok ia punya kepala dari belakang,”
kata Bung Karno menceritakan terbunuhnya Leon Trotsky oleh agen Stalin.
Setelah kekalahan Trotsky di Uni-Soviet, Bung Karno
menyimpulkan, negeri hasil revolusi oktober itu memasuki periode stalinisme
atau periode memperkuat benteng di dalam lingkungan pagar besi. “Periode
memperkuat benteng ini melalui fase-fase pembersihan, penangkapan, pembredelan,
dan pembunuhan,” kata Soekarno menyimpulkan era Stalinisme. Bagi Bung Karno,
Stalin melakukan kesalahan karena telah melakukan isolasionisme, dan
mengabaikan hubungan dengan bangsa-bangsa lain. Terkait perdebatan itu,
Soekarno menyimpulkan sendiri, bahwa masyarakat adil makmur yang diperjuangkan
bangsa Indonesia tidaklah sebatas dalam lingkungan Indonesia, tetapi seluruh
umat manusia
Sumber :
http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/20110511/ketika-bung-karno-membandingkan-strategi-stalin-dan-trotsky.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar