A.
Latar
Belakang
Perkembangan narkoba berawal sejak
tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang
bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu
ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver
(pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan,
malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977). Pada tahun 800 SM di
India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan
oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti
sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki,
dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun
kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis
obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari
tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan
suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic
seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya
mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin,
1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke
seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama
di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi
marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977
(Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada
abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan
Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba
yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat
juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip
pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa
omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan,
suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari
seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya
mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor
penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity)
(Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4)
ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang
berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga
(Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna
narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK),
serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan
S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia
terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global.
Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang
mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama
budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai
dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah
sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK
adalah bebas, konsumtif, dan
haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika
pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK
pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula
dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara,
sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi,
sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
B.
Tujuan Studi Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba
yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual,
seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang
memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan
kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri
untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk
melalui kesadaran klien terhadap
bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah
tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya
narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk
mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba
yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu
perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu
diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti
narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai
keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e)
mendekatkan diri kepada Tuhan.
3. Kajian Literatur
Upaya pemulihan (recovery)
pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya
berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak
tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang
terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC),
Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki
16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112
tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti
setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini
sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu
dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal
itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.
“There are still many places in
our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is
to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute
nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than
put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to
destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann
menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien
dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat
pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital
and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya
disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan
rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya
memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam
pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar
klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat
menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan
program detoxification dari RSKO. Dari penjelasan di atas ada dua hal
penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam
pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
a.
Konseling
Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu
klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling
antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar
kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur
membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah
dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI
bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk:
(1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi
narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas
perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala
akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi
orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4)
membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari
cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan
keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere
& Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai
pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama
seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal,
taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai
soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah
sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan
kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka,
bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan
kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami,
dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan
teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien
agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama
konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat
keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu
klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun
konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
b.
Bimbingan
Kelompok (BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi
kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan
berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh
masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu
pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh
kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien
sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani
tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta.
Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang
akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang
identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga
saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c)
Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien
pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d)
Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam
kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup
normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat,
sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna.
Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus
akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota
masyarakat.
c.
Konseling
Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan
(recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti
ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya.
Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah
klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang
akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien
terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab
yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman,
percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga. Untuk
mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai
berikut:
1. Menyiapkan mental klien narkoba
untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota
keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka
anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya
keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus
berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah
kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
2. Memberi kesempatan kepada setiap
anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan
perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada
kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien
agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai
akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne &
Ohlsen, 1982).
3. Selanjutnya, konselor memberi
kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan
jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu.
Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan
untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.
4. Selanjutnya, konselor mengemukakan
kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya
supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama
klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan
kasih sayang,.
5. Konselor meminta tanggapan keluarga
tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka
terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap
program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya.
Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor
amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam
menjalani program pemulihan dirinya.
Secara berturut-turut telah
dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual,
bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan
konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program
partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
http://depdiknas.go.id,
Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.
Robert. L.Gibson. dkk, (2011). Bimbingan dan Konseling Edisi Ke Tujuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar