"Selamat Datang Di Blog Pro Ecclesia Et Patria"

Jumat, 24 Februari 2012

PMKRI SEBAGAI ORGANISASI BELAJAR DAN PERJUANGAN




Pengantar
Hampir seluruh atau sebagian waktu, pikiran, tenaga/energi warga Perhimpunan dicurahkan untuk mengusahakan satu pekerjaan pokok dan penting yakni mengusahakan PMKRI menjadi organisasi modern yang tanggap terhadap tuntutan perubahan. Kemudian muncul sebutan TO (transformasi organisasi) untuk menunjuk sesuatu hal yang kita anggap dan harapkan dapat secara tepat menjadi salah satu 'alat konseptual/teoretis' - tentu bukan panduan praktis - bagi berubahnya PMKRI ke arah yang lebih baik. Alat tersebut sedang dikerjakan atau digalakan pelaksanaannya di hampir semua Cabang PMKRI di seluruh Indonesia.
Sejauh TO berjalan tampaknya perlu ditegas ulang aspek-aspek dasar dan utama pengembangan organisasi PMKRI. Maksudnya supaya TO dijalankan secara bersesuaian dengan inti/hakikat utama yang menjadikan PMKRI hidup (dinamis) dan memiliki jati diri (kekhasan). Ruang lingkup tulisan seputar tiga benang merah dan aspek-aspek pokok pengembangan, masalah pembinaan dan perjuangan serta catatan terhadap TO itu sendiri. Tulisan ini tidak mengajukan konsep atau pemikiran baru, dan memang tidak dimaksudkan demikian. Bersifat mengingatkan kembali.
Tiga Benang Merah & Aspek Dasar Pengembangan PMKRI
Dua materi pokok hendak dikemukakan di sini. Pertama, PMKRI sebagai sebuah organisasi bertumpu pada tiga landasan nilai yakni intelektualitas, kristianitas, fraternitas. Kita menyebutnya “Tiga Benang Merah PMKRI”. Ia adalah inti yang menghidupkan dan harus terus dihidupkan dalam Perhimpunan. Tentu tak ada yang membantah hal yang sudah jelas ini. Kedua, ada empat aspek/bidang pokok pengembangan yang sudah baku dan berlaku umum di PMKRI dari generasi ke generasi. Yaitu 1). Kemahasiswaan, 2). Kekatolikan, 3). Kemasyarakatan, 4). Keorganisasian. Mengenai ini pula tentu tidak akan ada perbantahan.
Apapun istilah dan metode yang digunakan dalam menata (rekayasa) PMKRI menjadi lebih modern, entah dengan reformasi, transformasi atau perubahan terencana atau apapun, tidak boleh lari jauh dari hal-hal pokok di atas. Dalam kaitan ini, sedikit perlu mempertegas satu kalimat kunci didalam proses pembaruan PMKRI. Bahwa semangat untuk melakukan perubahan mendasar terhadap PMKRI disatu pihak merupakan keniscayaan/keharusan sejarah. Pada pihak lain penciptaan sejarah baru tidak terlepas dari sejarah yang terbentuk sebelumnya. Kontinyuitas proses itulah menjadi paham utamanya, dengan kesadaraan baru untuk membawa PMKRI menjadi lebih maju dari periode-periode terdahulu.
Apa yang diperlukan kemudian? Karena situasi telah berubah maka cara memang perlu dirubah, disesuaikan, dimodifikasi sehingga PMKRI terus relevan dan dibutuhkan oleh mahasiswa, gereja, masyarakat dan oleh anggotannya. Akan lahir berbagai kemungkinan dalam soal cara (metodologi) perubahan seperti banyak dikembangkan masa ini, sebagai konsekuensi dari pergeseran tata kehidupan zaman. Namun roh/spirit dasar tetap bertumpu pada unsur tiga benang merah. Dan bidang sasaran pengambangannya tetap bertumpu pada empat aspek pokok tadi. Barulah kemudian PMKRI akan dinilai bermanfaat bagi: mahasiswa (aspek kemahasiswaan), gereja (aspek kekatolikan), masyarakat (aspek kemasyarakatan) dan anggota (aspek keorganisasian).
Kurang lebih dalam satu dasawarsa terakhir, perhatian utama PMKRI tertuju pada aspek kemasyarakatan. Sehingga dalam banyak hal PMKRI lebih menganjurkan untuk memberikan penekanan lebih pada intelektualitas guna menopang ketajaman gerak kemasyarakatannya. Tidak ada yang salah dengan jalan pikiran ini. Akan tetapi jika bicara PMKRI secara utuh, maka tidak dapat lain, harus ada keseimbangan dari empat bidang garapan (kemahasiswaan, kekatolikan, kemasyarakatan, keorganisasian). Di dalamnya harus tumbuh dan hidup nilai-nilai intelektualitas, kristianitas dan fraternitas secara utuh/padu dan seimbang. Saya yakin tidak akan ada penciptaan yang lebih ‘genius’ lagi dari apa yang telah ada. Tugas kita hari ini ialah merevitalisasi dan mengembangkannya dalam bentuk-bentuk yang lebih sesuai. Tidak lebih dari itu.
Materi dasar pembinaan dan penataan PMKRI melalui isu transformasi tentu harus bergerak/berjalan dan mengacu pada konsep dasar serta ruang lingkup bidang-bidang di atas. Adapaun namanya mungkin berbeda, namun hakikatnya sama. Ringkasnya, pembinaan dan pengembangan organisasi PMKRI tidak lain merupakan derivasi sekaligus memberi bobot-bobot baru terhadap empat bidang pokok tadi. Landasan nilainya adalah intelektualitas, kristianitas dan fraternitas. Hal-hal tersebut merupakan landasan, panduan umum sekaligus arah bagi pembaruan PMKRI sesuai cita-cita seperti terkandung (tersirat maupun tersurat) di dalam konsep TO itu sendiri.
Saya ingin menyinggung sedikit mengenai intelektualitas. Sebab kadang-kadang kita kurang tepat mendefinisikan intelektualitas, terutama dalam konteks PMKRI. Dalam rumusan visi dan misi sebagaimana tertuang dalam AD PMKRI terdapat istilah intelektual populis. Kira-kira yang dimaksudkan ialah seorang intelektual organik, berpihak dan hidup bersama kaum tertindas. Mungkin mirip dengan pengertian intelektual dari Antonio Gramsci. Bisa jadi memang dipengaruhi/terinspirasi oleh pemikiran Gramsci. Jadi intelektual populis dalam rumusan visi dan misi PMKRI kelihatannya mengadopsi pemikiran Gramsci-an. Mungkin perlu diskusi kembali mengenai soal ini.
Kata dan pengertin intelektual populis adalah benar dalam dirinya sendiri, tetapi secara praktis belum tentu tepat untuk diterapkan di PMKRI. Sebab istilah tersebut mudah terjerumus kedalam pemahaman sempit mengenai orientasi perjuangan PMKRI yakni bahwa pilihan orientasi keberpihakan kepada kaum tertindas (rakyat) diartikan sekaligus menjadi pilihan metodologis, cara pencapaiannya. Padahal perjuangan PMKRI bisa dilakukan dengan macam-macam cara dan pada level apapun. Bisa di akar rumput, boleh pada level struktural (policy). Saya sendiri tidak mau terjebak pada mana pilihan yang benar dari keduanya. Saya melihatnya dari sudut pandang PMKRI tidak tepat jika memang maksudnya adalah keharusan pilihan metodologis. Segmen perjuangan PMKRI sangat luas dan karena itu tidak boleh ada pembatasan, atas dasar alasan apapun juga.
Pembinaan & Perjuangan
PMKRI mencakup dua sisi sekaligus, yakni “pembinaan dan perjuangan”. Mengenai perjuangan, sederhananya adalah berjuang bagi kepentingan mahasiswa, kepentingan gereja, kepentingan masyarakat dan kepentingan anggotanya. Pencapaian empat target/sasaran bidang pengembangan itu tidak boleh lengah pada salah satu dari keempatnya. Pertanyaannya, apa dan bagiamana agar perjuangan di atas memperoleh hasil maksimal? Jawabannya terletak pada pembinaan dan kaderisasi. Tujuannya ialah menciptakan kader-kader sebagai kelompok inti (nucleus/elite) yang akan mengemban amanat perjuangan PMKRI. Dalam hal pembinaan dan kaderisasi ini pasti tak ada yang berjalan secara alamiah, terjadi/mengalir begitu saja. Karena tidak terjadi begitu saja maka perlu adanya perekayasaan terhadap system, dan pola pembinaan. Denga demikian akan muncul kader-kader yang “siap dan dipersiapkan” untuk berbagai macam tugas dan pekerjaan di berbagai bidang seturut tingkat kemampuan, minat, bakat dan panggilan hidupnya.
Bisakah PMKRI melakukan sendiri atau secara mandiri? Ini adalah pertanyaan yang menggugah. Dalam rumusan konsep PP PMKRI untuk materi Loknas di Solo 4 – 9 November 2003, disebutkan bahwa “mandiri dalam konteks internal terbagi dalam empat bidang yaitu sistem pendidikan, gerakan, pengembangan organisasi dan infrastruktur. Mandiri adalah sikap tidak bergantung pada orang lain”. Barangkali perlu ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian mandiri tersebut supaya jalan pikirannya dapat ditangkap utuh. Apakah pengertian sikap tidak bergantung pada orang lain dimaksudkan semata-mata sebagai mampu melakukannya sendiri? Atau ada arti lainnya? Apakah dalam kaitan itu pula tidak perlu/tidak boleh melibatkan pihak/orang lain? Memang perlu diskusi tersendiri.
Bagi saya, dalam melakukan pembinaan di PMKRI, sejauh saya merefleksikan perjalanan ikut membina diri di PMKRI dan apabila ingin hasilnya benar-benar efektif, perlu dipertimbangkan kemungkinkan pelibatan pihak/orang lain yang berkompeten dalam merumuskan sistem dan mekanisme pembinaan di PMKRI. Sebab pasti terdapat hal-hal yang mungkin di luar jangkauan kemampuan kita. Karena itu perlu orang lain (partner). Kita terlalu banyak memiliki kelemahan untuk mencapai hasil maksimal/efektif secara sendiri.
Pembinaan dan kaderisasi haruslah menjadi tema dan fokus kegiatan PMKRI. Maka PMKRI adalah saranan membina/melatih diri. Apa yang harus dilatih? Wawasan (pengetahuan), keterampilan, spiritualitas, mental dan fisik dalam rangka mengemban fungsi dan perannya di bidang kemahasiswaan, kekatolikan, kemasyarakatan dan keorganisasian dengan dilandasi Tiga Benang Merah PMKRI. Dimana perubahan dan pembenahan dilakukan? Jawabannya terletak pada Cabang-Cabang di berbagai daerah sebagai sumber utama stok kader dan kepemimpinan di PMKRI. Karena itu, TO harus pula dipahami sebagai membangun cabang-cabang sebagai pusat-pusat pembinaan dan kaderisasi.

Transformasi Organisasi
Garis besar konsep transformasi organisasi (TO) itu kelihatannya sudah menjadi pengetahuan umum di PMKRI. Tanda paling sederhananya adalah intensitas pembicaraan TO dalam setiap forum pertemuan PMKRI, formal maupun informal. Ada semacam ‘kesepakatan’ – diucap atau pun tidak diucap – bahwa PMKRI perlu ada TO. Jika yang dimaksudkan adalah merubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Sekalipun mungkin masih ada yang bingung, tetapi pada prinsipnya tidak ada yang memiliki sikap dasar menolak. Ia telah diterima secara luas. Karena alasan dan tujuannya adalah baik. PMKRI tak mau ketinggalan atau tertinggal apalagi berjalan mundur. PMKRI harus maju/dimajukan, berubah/bergerak dan terus berkembang seturut berubahnya situasi, kondisi, iklim/cuaca dan aliran zaman.
Permasalahan utamanya ialah bukan pada tujuannya yang sudah dianggap baik itu. Akan tetapi sesuai kenyataan - sejauh gagasan tersebut berjalan selama kurang labih empat tahun belakangan - pertanyaan yang muncul dari banyak cabang masih pada: 1). Apakah TO itu? 2). Lebih sulit lagi, bagaimana TO itu harus dijalankan? Itu berarti, jika secara konsepsionil belum dipahami berarti jelas secara praktis pasti tidak berjalan dengan semestinya.
Maka disinilah kemudian kita/PMKRI - tentu jika dianggap perlu – merumuskan dan membahasakan TO itu sejelas mungkin. Jelas artinya mudah diserap, dicerna, tidak multitafsir pada ide/gagasan pokoknya sekaligus praktis dan bisa digunakan untuk menjawab kebutuhan khusus/unik cabang-cabang yang pada hakekatnya pasti berbeda-beda. Kiranya penting diurai/dipilah, disusun dan dirumusukan penjelasan-penjelasan terhadap bentuk, cara, isi, ruang lingkup/skala, tolok ukur, konteks, prasyarat, juga barangkali pihak-pihak yang terlibat atau perlu dilibatkan dalam isu atau proyek TO. Sebab sesuatu tidak berjalan atau mungkin tidak dapat dijalankan dengan baik apabila masih terdapat kontroversial dalam unsur dasar/pokoknya. Komponen-komponen pendukungnya belum diidentifikasi secara lengkap dan meletakkannya dengan benar. Itu satu soal.
Hal penting lainnya lagi ialah masalah kepemimpinan. Seumpama saja seluruh faktor yang disebut terdahulu dianggap telah terpenuhi, tentu pencapaiannya pun tidak bisa terjadi begitu saja. Supaya bisa berjalan harus ada kekuatan yang menggerakkannya. Apa kekuatan itu? Yakni kepemimpinan yang efektif, pada berbagai level. Supaya kepemimpinan itu efktif maka perlu dan penting 1). mendapat dukungan dari sebagian besar - syukur jika dapat seluruhnya - dari stakeholders yang ada. 2). Memperoleh kepercayaan atau dipercaya bisa membawa PMKRI bangkit dari "keterpurukan" melalui TO ini. Jika tidak, dapat dikatakan dengan derajat kepastian yang tingi yakni akan munculnya penilaian bahwa TO ini telah gagal. Mengapa gagal? Karena tidak ada kepemimpinan yang mesti melekat/tercakup di dalamnya. Jika managemen adalah jawaban dari pertanyaan bagaimana suatu prioritas dijalankan dengan tepat dan benar, maka kepemimpinan adalah untuk memutuskan apa saja yang termasuk dalam hal-hal prioritas itu.
Apabila penilaian kegagalan itu benar-benar berkembang luas, maka tanda “kekacauan” menyeluruh segera menimpa PMKRI sebagai sebuah organsiasi. Apa dasarnya? Percobaan penerapan konsep TO selama ini, sedikit atau banyak, harus diakui telah “menjungkirbalikan” sistem atau tata hubungan keorganisasian. Bagaimanapun kehadiran TO dimaksudkan untuk menciptakan sesuatu (sistem dan kultur) yang baru untuk menggantikan sistem dan kultur lama karena barangkali dianggap telah usang. Sementara hingga saat ini, sesuatu yang baru itu belum begitu jelas. Praktis akan menimbulkan kegoncangan dan kebingunan. Keadaan demikian harus diantisipasi dengan baik sejak dini. Maka itu harus ditopang dengan managemen yang baik serta kepemimpinan yang efektif sehingga proses transisi di PMKRI sekarang berjalan normal.

Kesimpulan
Jika perubahan adalah kensicayaan zaman, tentu tidak ada sangkalan apabila PMKRI harus berubah dan dirubah, baik struktur maupun kulturnya yang sama-sama kita anggap pantas untuk dirubah. Kecuali satu catatan penting yakni perubahan itu mengandaikan bahwa kita tahu apa yang harus dirubah. Supaya tahu apa yang harus dirubah maka kita pun mesti tahu tentang PMKRI secara utuh; baik historis, filosofis, dan politis, maupun tujuan-tujuan, karakteristik, aspek kelembagaan dan sebagainya. Dengan demikian, perubahan itu dapat dipastikan berjalan benar, tepat dan terukur, baik dalam isi maupun caranya, Pemahaman yang tidak utuh berkemungkinan besar melahirkan rumusan konsep perubahan yang salah sasaran, ketidakjelasan arah serta rapuh.

                                                                                                            Pontianak, 19 Januari 2012

Penulis:
Anggota Biasa PMKRI Cabang Pontianak

Bernadus Apin
Presidium Pengembangan Organisasi
Periode 2011-2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar