oleh : Bernadus Apin
Mahasiswa
merupakan pencapaian tertinggi bagi individu yang sedang mengais ilmu
pengetahuan. Sejarah membuktikan bahwa golongan terpelajar ini memiliki peranan
penting dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mulai dari
peristiwa proklamasi kemerdekaan, TRITURA tahun 1966, delapan tahun kemudian
ada MALARI hingga yang paling melekat di ingatan kita semua adalah
reformasi 1998. Oleh sebab itu, mahasiswa selalu menjadi motor penggerak
perubahan dalam sebuah peradaban. Dinamika pergerakan mahasiswa hingga saat ini
masih terus bergulir. Namun berdasarkan jajak pendapat yang baru-baru ini
dilaksanakan oleh salah satu surat kabar dalam negeri, kepedulian dan
eksistensi mahasiswa terhadap isu-isu yang terjadi di sekitarnya mengalami
degradasi yang cukup signifikan. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
masalah tersebut.
Yang
pertama adalah kondisi masyarakat yang sudah jauh berbeda dengan kondisi di
masa lampau. Ada pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat yang menyebabkan
perbedaan tersebut. Demonstrasi sudah tidak lagi mendapat respek dari
masyarakat karena dianggap sebagai tunggangan politik beberapa elit tertentu.
Pergerakan mahasiswa yang dianggap murni tanpa disadari ternyata ada
kepentingan lain di belakangnya. Demokrasi titipan, begitu stigma masyarakat
terhadap gerakan mahasiswa saat ini. Sedangkan apabila demonstrasi dilaksanakan
murni aspirasi rakyat dan untuk kepentingan mereka, maka banyak orang akan
beranggapan “Apa sih yang mereka dapatkan dari unjuk rasa? Udah panas, tambah
bikin macet jalanan ”
Perkembangan
budaya hedonisme dan konsumerisme barat juga mulai menggerus budaya kritis
mahasiswa yang biasanya menghasilkan idealisme-idealisme cemerlang. Mahasiswa
lebih sibuk melakukan internalisasi diri dibandingkan melakukan kajian mengenai
isu-isu yang menyangkut kemaslahatan orang banyak. Arah pergerakan sudah tidak
lagi tentang bagaimana memperjuangkan kepentingan orang banyak, melainkan keuntungan
apa yang dapat mereka peroleh dari situasi tertentu. Hal ini tentu saja
menurunkan daya pikir mahasiswa untuk menyerukan idealisme-idealisme mereka
yang terkenal kritis karena berani melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
dianggap merugikan masyarakat. Padahal idealisme untuk mempertanyakan benar
atau salah itulah yang harus dijaga dalam pengawalan proses demokrasi di
Indonesia.
Berikutnya
adalah tidak adanya strategi yang jelas dalam gerakan mahasiswa itu sendiri.
Padahal hal tersebut sangat penting untuk menentukan arah pergerakan.
Dibutuhkan perhitungan-perhitungan yang taktis dan matang untuk mengiringi
idealisme-idealisme para intelektual muda ini. Terlebih sudah bukan saatnya
pergerakan mahasiswa bergantung pada momentum yang sedang memanas karena hal
itu hanya akan membawa gerakan mahasiswa cenderung statis. Akibatnya,
pergerakan menjadi mudah sekali dibaca, dikendalikan dan akhirnya dimanfaatkan
oleh golongan tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Faktor
kaderisasi juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam pergerakan
mahasiswa. Sistem kaderisasi yang baik akan menciptakan bibit-bibit yang
unggul. Sayangnya, sistem kaderisasi sekarang secara tidak langsung hanya
menjadi tradisi yang dilakukan secara rutin tanpa perlu tahu esensi utamanya,
tidak lebih. Sistem kaderisasi turun temurun begitu saja, padahal zaman
berubah, masalah-masalah di Indonesia juga berubah dan berkembang. Dengan
sistem seperti itu, tidak akan membentuk karakter mahasiswa yang mampu menjadi
solusi masyarakat, solusi lingkungan meupun solusi atas
permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia.
Detik
ini, ada sebuah tuntutan yang harus digulirkan kepada gerakan mahasiswa itu
sendiri. Mengenai bagaimana mengembalikan ruh, dalam hal ini idealisme, kepada
para mahasiswa agar kembali terjun dalam ranah pergerakan yang lebih
sistematis, kritis dan independen.
Penulis
pribadi berpendapat bahwa sebenarnya pergerakan mahasiswa hingga saat ini masih
bergulir. Namun tentu saja pergerakan tersebut dilakukan sesuai dengan perkembangan
jaman. Dialog dan audiensi dengan pihak-pihak terkait bisa menjadi jalan tengah
dalam pergerakan mahasiswa di masa sekarang. Demonstrasi tetap perlu dilakukan
jika memang sudah tidak ada cara lain yang bisa ditempuh untuk menanggulangi
suatu permasalahan negara. Namun perlu diingat bahwa sebagai golongan
terpelajar, aksi ini harus dilakukan dengan rasional dan bijaksana. Rasional
dalam artian bahwa memang sudah ada kajian khusus tentang permasalahan tersebut
dan ada solusi yang ingin dicapai untuk menyelesaikanya. Bijaksana berarti
tidak ada tindakan anarkis dalam demonstrasi itu sendiri, terlebih mengingat
bahasa kekerasan tidak pernah diajarkan dalam dunia akademik.
Para
pemuda juga perlu merenungkan kembali tanggung jawab moral dalam menyandang gelar
mahasiswa. Tanggung jawab sebagai intelektual untuk menganalisa permasalahan
yang ada serta memberikan solusi terbaik dalam penyelesaianya mengingat
eksistensi pergerakan mahasiswa di jaman seperti sekarang sangat bergantung
pada hal tersebut. Tanpa adanya beban moral kepada siapapun, idealisme
mahasiswa adalah senjata utama dalam melakukan gerakan. Selain itu, perlu
diingat bahwa pergerakan tidak bisa hanya dilakukan secara temporal saja
melainkan harus secara terus-menerus dan dinamis agar tidak mudah dibaca dan
dimanfaatkan oleh elit politik manapun.
Pada
akhirnya, kaderisasi lah yang memegang peran penting agar pergerakan dapat
berjalan secara kontinu. Bagaimana kaderisaasi tersebut dapat menciptakan
bibit-bibit unggul dalam ranah pergerakan bukanlah suatu hal yang mudah. Bukan
hanya sekedar ritual, melainkan juga penyampaian nilai-nilai serta idealisme
yang akan mahasiswa usung dalam pergerakanya.
Dalam
sejarahnya, pergerakan mahasiswa memiliki tujuan dan ciri khas masing-masing
tergantung dari masanya. Sehingga publik perlu mencatat bahwa setiap jaman akan
menghasilkan generasi yang berbeda-beda. Namun nilai utama yang dibawa dalam
pergerakan akan tetap sama, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia.
“Masih
terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi,
dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan
jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”. Soe
Hok Gie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar