MERAWAT BANGSA DENGAN VISI PLURALISME
Oleh :Bernadus Apin
Pontianak 12 januari 2012
Pluralisme dalam sejarah perjalanan bangsa kita adalah hal yang klasik dan tidak terelakkan keberadaannya. Bahkan sebelum wacana pluralisme menjadi perdebatan yang alot dalam kajian sosiologi kontemporer (post-modernisme), para founding father bangsa ini telah berhasil meletakkan wacana tersebut sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pluralisme ala Indonesia ini dikenal dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu). Gagasan yang merupakan warisan dari salah seorang filsuf lokal Nusantara (Empu Tantular Abad 14 Masehi) ini, berhasil mempersatukan rakyat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke menjadi satu ikatan kebangsaan yang utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikatakan demikian, karena gagasan tersebut mampu melihat realitas kehidupan bangsa Indonesia yang sarat dengan berbagai macam perbedaan, baik agama, budaya dan ras.
Dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan bukanlah tujuan, melainkan sebuah kewajaran. Sehingga keutuhan NKRI, meskipun dilatari oleh berbagai macam perbedaan, masih tetap utuh dan terjaga sampai hari ini. Kenapa demikian? Karena bangunan kebangsaan kita tidaklah dibangun atas dasar kesamaan etnis, agama dan budaya, Melainkan dibangun di atas fondasi keanekaragaman yang mengedepankan semangat kebersamaan sebagai perekat persatuan tanpa harus menghilangkan identitas keanekaragaman yang telah ada. Selain itu, makna terdalam dari gagasan Bhinneka Tunggal Ika mampu melihat sisi perbedaan yang tidak hanya sebagai bentukan biologis, melainkan sarat dengan muatan teologis (Ilahiyyah).
Olehnya itu, sangat disayangkan jika belakangan ini bangsa kita banyak diterpa oleh berbagai masalah (konflik), khususnya yang terkait dengan persoalan SARA. Bhinneka Tungal Ika yang sejatinya diharapkan mampu melahirkan ruang kebersamaan diantara berbagai perbedaan, seolah kehilangan makna dalam dinamika kehidupan sosial bangsa kita.
Konflik SARA
Pada hakikatnya penghuni bangsa ini tidak mempersoalkan kenapa ia dilahirkan dalam keadaan berbeda. Namun yang mereka persoalkan adalah sifat sebahagian manusia yang begitu kejam dalam melihat perbedaan, mereka tidak segan melakukan tindakan diskriminasi, penghinaan, pertikaian dan bahkan pembunuhan antar sesama, hanya karena berbeda suku, agama dan ras (SARA).
Masih segar dalam ingatan kita akan sebuah fenomena yang cukup memiriskan, dimana ribuan rakyat Indonesia menjadi korban akibat konflik yang terkait dengan persoalan SARA. Mulai dari Papua, Ambon, Poso, Sampit, dan Aceh. Tiba-tiba bangsa ini kembali dikagetkan dengan letusan konflik komunal yang terjadi di Ambon baru-baru ini. Demikian juga halnya di Makassar, insiden pembunuhan tiga orang warga Tamalanrea di jalan Perintis Kemerdekaan beberapa hari lalu sempat bergejolak, yang juga hampir bermuara pada lahirnya konflik SARA.
Pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, sikap toleransi dan penghargaan terhadap sesama manusia menjadi salah satu bukti betapa bebasnya manusia di bangsa ini melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas lain yang mereka anggap berbeda dengan komunitasnya. Perbedaan yang sejatinya bisa menjadi berkah kehidupan dan menjadi perekat persatuan dalam ikatan kebangsaan seolah menjadi “kutukan” bagi bangsa yang ditakdirkan hidup dalam belantika pluralitas dan multikulturalisme kehidupan.
Selain itu, toleransi sebagai syarat dan sekaligus sebagai fondasi kehidupan masyarakat majemuk (plural dan multikultur) seolah hanya menjadi wacana langit yang tidak pernah membumi secara nyata dalam kehidupan kebangsaan kita, malah semuanya tergusur atas nama Tuhan, arogansi kelompok dan golongan. Akibatnya, kehidupan bangsa kita menjadi rapuh dikarenakan gejolak konflik yang datang silih berganti tanpa mengenal batas waktu dan usia. Bangsa yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dan toleran, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang bringas, pemarah dan pendendam.
Terkait hal ini, menarik kiranya apa yang pernah diungkapkan oleh Kautsar Ansari Noer dalam salah satu tulisannya yang berjudul Teologi Kemanusiaan. Ia mengatakan bahwa “Jangan coba-coba berani hidup di dunia, jika tidak sanggup bersentuhan dengan perbedaan, sebab perbedaan adalah syarat dunia ini” (Kautsar Ansari Noer, 2001).
Kautsar, secara tidak langsung mengajak kita untuk merefleksikan secara mendalam makna dan arti sebuah perbedaan, sebab perbedaan akan selalu menjadi titik persoalan jika ia tidak disikapi dengan bijak dan penuh kearifan.Olehnya itu, Karena realitas kehidupan bangsa Indonesia sarat dengan perbedaan, maka visi pluralisme menjadi sebuah keniscayaan dalam merawat kelangsungan kehidupan bangsa kita.
Pluralisme ala Indonesia ini dikenal dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu). Gagasan yang merupakan warisan dari salah seorang filsuf lokal Nusantara (Empu Tantular Abad 14 Masehi) ini, berhasil mempersatukan rakyat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke menjadi satu ikatan kebangsaan yang utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikatakan demikian, karena gagasan tersebut mampu melihat realitas kehidupan bangsa Indonesia yang sarat dengan berbagai macam perbedaan, baik agama, budaya dan ras.
Dalam konsep Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan bukanlah tujuan, melainkan sebuah kewajaran. Sehingga keutuhan NKRI, meskipun dilatari oleh berbagai macam perbedaan, masih tetap utuh dan terjaga sampai hari ini. Kenapa demikian? Karena bangunan kebangsaan kita tidaklah dibangun atas dasar kesamaan etnis, agama dan budaya, Melainkan dibangun di atas fondasi keanekaragaman yang mengedepankan semangat kebersamaan sebagai perekat persatuan tanpa harus menghilangkan identitas keanekaragaman yang telah ada. Selain itu, makna terdalam dari gagasan Bhinneka Tunggal Ika mampu melihat sisi perbedaan yang tidak hanya sebagai bentukan biologis, melainkan sarat dengan muatan teologis (Ilahiyyah).
Olehnya itu, sangat disayangkan jika belakangan ini bangsa kita banyak diterpa oleh berbagai masalah (konflik), khususnya yang terkait dengan persoalan SARA. Bhinneka Tungal Ika yang sejatinya diharapkan mampu melahirkan ruang kebersamaan diantara berbagai perbedaan, seolah kehilangan makna dalam dinamika kehidupan sosial bangsa kita.
Konflik SARA
Pada hakikatnya penghuni bangsa ini tidak mempersoalkan kenapa ia dilahirkan dalam keadaan berbeda. Namun yang mereka persoalkan adalah sifat sebahagian manusia yang begitu kejam dalam melihat perbedaan, mereka tidak segan melakukan tindakan diskriminasi, penghinaan, pertikaian dan bahkan pembunuhan antar sesama, hanya karena berbeda suku, agama dan ras (SARA).
Masih segar dalam ingatan kita akan sebuah fenomena yang cukup memiriskan, dimana ribuan rakyat Indonesia menjadi korban akibat konflik yang terkait dengan persoalan SARA. Mulai dari Papua, Ambon, Poso, Sampit, dan Aceh. Tiba-tiba bangsa ini kembali dikagetkan dengan letusan konflik komunal yang terjadi di Ambon baru-baru ini. Demikian juga halnya di Makassar, insiden pembunuhan tiga orang warga Tamalanrea di jalan Perintis Kemerdekaan beberapa hari lalu sempat bergejolak, yang juga hampir bermuara pada lahirnya konflik SARA.
Pudarnya nilai-nilai kemanusiaan, sikap toleransi dan penghargaan terhadap sesama manusia menjadi salah satu bukti betapa bebasnya manusia di bangsa ini melakukan tindakan kekerasan terhadap komunitas lain yang mereka anggap berbeda dengan komunitasnya. Perbedaan yang sejatinya bisa menjadi berkah kehidupan dan menjadi perekat persatuan dalam ikatan kebangsaan seolah menjadi “kutukan” bagi bangsa yang ditakdirkan hidup dalam belantika pluralitas dan multikulturalisme kehidupan.
Selain itu, toleransi sebagai syarat dan sekaligus sebagai fondasi kehidupan masyarakat majemuk (plural dan multikultur) seolah hanya menjadi wacana langit yang tidak pernah membumi secara nyata dalam kehidupan kebangsaan kita, malah semuanya tergusur atas nama Tuhan, arogansi kelompok dan golongan. Akibatnya, kehidupan bangsa kita menjadi rapuh dikarenakan gejolak konflik yang datang silih berganti tanpa mengenal batas waktu dan usia. Bangsa yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun dan toleran, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang bringas, pemarah dan pendendam.
Terkait hal ini, menarik kiranya apa yang pernah diungkapkan oleh Kautsar Ansari Noer dalam salah satu tulisannya yang berjudul Teologi Kemanusiaan. Ia mengatakan bahwa “Jangan coba-coba berani hidup di dunia, jika tidak sanggup bersentuhan dengan perbedaan, sebab perbedaan adalah syarat dunia ini” (Kautsar Ansari Noer, 2001).
Kautsar, secara tidak langsung mengajak kita untuk merefleksikan secara mendalam makna dan arti sebuah perbedaan, sebab perbedaan akan selalu menjadi titik persoalan jika ia tidak disikapi dengan bijak dan penuh kearifan.Olehnya itu, Karena realitas kehidupan bangsa Indonesia sarat dengan perbedaan, maka visi pluralisme menjadi sebuah keniscayaan dalam merawat kelangsungan kehidupan bangsa kita.
Visi Pluralisme
Wacana pluralisme tidaklah lahir dari ruang yang hampa, melainkan lahir dari pergulatan sosial dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan hidup. Gagasan pluralisme dalam konteks kebangsaan kita selalu menekankan pentingnya bersikap toleran, santun, serta bijak dalam menyikapi perbedaan, karena hanya dengan jalan itulah berbagai macam perbedaan yang ada, baik agama, budaya dan ras, dapat berinteraksi dengan baik.
Ketegangan antar golongan yang bermuara pada lahirnya konflik sosial disebabkan karena ruang kebersamaan antar berbagai golongan yang berbeda tidak terjalin dengan baik, malah mengalami kebuntuan. Sehingga dengan buntunya ruang kebersamaan tersebut menjadi salah-satu penyebab munculnya kesalahpahaman yang mengakibatkan lahirnya kecurigaan serta gesekan sosial dalam bentuk kekerasan.
Olehnya itu, Pluralisme hadir menjadi kerangka kerja sebagai upaya untuk menciptakan tatanan kehidupan bangsa yang lebih terbuka dan demokratis, agar interaksi yang sifatnya dialogis, toleran dan humanis mampu mempertemukan berbagai perbedaan dalam ruang kebersamaan sebagai landasan pacu untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berperadaban.
Visi pluralisme sebagaimana yang diwacanakan oleh Empu Tantular dalam konsep Bhineka Tunggal Ika, tiada lain adalah sebuah upaya untuk merawat kelangsungan kehidupan bangsa agar mampu berjalan di atas titian keanekaragaman dengan penuh toleran dan humanis. Sehingga nuansa kehidupan yang sarat dengan berbagai perbedaan, baik secara biologis maupun teologis mampu menemukan ruang kebersamaan dalam ikatan persaudaraan kebangsaan.
Peran Pemuda
Menjaga keutuhan NKRI tentunya tidak semudah dengan membalikkan kedua telapak tangan, apalagi di tegah kehidupan bangsa yang menglobal seperti saat ini, dimana berbagai macam tantangan datang silih berganti menerpa kehidupan bangsa kita yang nota bene baru berusia setegah abad dari kemerdekaanya. Usia yang masih cukup labil dalam membangun konsolidasi dan kesadaran berbangsa.
Paling tidak, ada dua tantangan terbesar yang dihadapi bangsa kita saat ini dan perlu untuk kita waspadai secara bersama-sama, yaitu: Pertama, Gerakan ekonomi neoliberalisme (neolib). neolib bergerak untuk mengeruk seluruh potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia bangsa ini. Gerakan yang sifatnya membius ini dimotori oleh agen-agen globalisasi seperti: WHO, IMF dan Bank Dunia.
Kedua; Gerakan terorisme. Gerakan terorisme cukup berbahaya karena gerakan tersebut mengancam kelangsungan nasionalisme kebangsaan kita yang plural, multikultur dan humanistik. Terorisme berpotensi menghacurkan solidaritas sosial, menumbuhkan kebencian antar golongan serta melahirkan pertikaian diantara sesama anak bangsa.
Olehnya itu, generasi muda sebagai pewaris satu-satunya bangsa ini tentunya sangat diharapkan untuk berpartisipasi secara progresif dalam menjaga keutuhan bangsa ini. Pemuda adalah satu-satunya harapan bangsa karna dipundaknyalah amanah kebangsan ini akan diletakkan. Olehnya itu, gagasan pluraslime menjadi sebuah keniscayaan berpikir dan bergerak bagi kalangan muda bangsa kita kedepan.
Pada akhirnya, keutuhan bangsa Indonesia sangat bergantung pada sejauhmana penghuni bangsa ini, khususnya kepada kaum muda sebagai generasi visoner bangsa menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. Sebab jika bangsa ini terus menerus dilanda konflik, maka tidak menutup kemungkinan integritas bangsa akan semakin memudar dan bahkan bisa mengakibatkan NKRI ini bubar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar