“AKHIRNYA
SEMUA AKAN TIBA
PADA
SUATU HARI YANG BIASA
PADA
SUATU KETIKA YANG TELAH LAMA KITA KETAHUI
APAKAH
KAU MASIH BERBICARA SELEMBUT DAHULU?
MEMINTAKU
MINUM SUSU DAN TIDUR YANG LELAP?
SAMBIL
MEMBENARKAN LETAK LEHER KEMEJAKU”
(KABUT
TIPIS PUN TURUN PELAN-PELAN DI LEMBAH KASIH,
LEMBAH
MENDALA WANGI
KAU
DAN AKU TEGAK BERDIRI
MELIHAT
HUTAN-HUTAN YANG MENJADI SURAM
MERESAPI
BELAIAN ANGIN YANG MENJADI DINGIN)
“APAKAH
KAU MASIH MEMBELAIKU SEMESRA DAHULU
KETIKA
KU DEKAP KAU, DEKAPLAH LEBIH MESRA, LEBIH DEKAT”
(LAMPU-LAMPU
BERKELIPAN DI JAKARTA
YANG SEPI
KOTA KITA BERDUA, YANG TUA DAN TERLENA DALAM MIMPINYA
KAU
DAN AKU BERBICARA
TANPA
KATA, TANPA SUARA
KETIKA
MALAM YANG BASAH MENYELIMUTI JAKARTA
KITA)
“APAKAH
KAU MASIH AKAN BERKATA,
KUDENGAR
DERAP JANTUNGMU.
KITA
BEGITU BERBEDA DALAM SEMUA
KECUALI
DALAM CINTA?”
(HARIPUN
MENJADI MALAM
KULIHAT
SEMUANYA MENJADI MURAM
WAJAH2
YANG TIDAK KITA KENAL BERBICARA DALAM BAHASA YANG TIDAK KITA MENGERTI
SEPERTI
KABUT PAGI ITU)
“MANISKU,
AKU AKAN JALAN TERUS
MEMBAWA
KENANGAN-KENANGAN DAN HARAPAN-HARAPAN
BERSAMA
HIDUP YANG BEGITU BIRU”
Soe Hok Gie (1942-1969)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar