Oleh : Bernadus Apin
23 September 2011
Pergerakan mahasiswa, kata tersebut
adalah kata yang sesungguhnya sakral dalam perjalanan bangsa ini. Bukan hanya
kata melainkan suatu bentuk pergerakan yang menentukan kemana sesungguhnya arah
Bangsa Indonesia. Tetapi beberapa tahun belakangan ini kata-kata tersebut
kehilangan makna magisnya, pergerakan mahasiswa justru menjadi kata yang
memunculkan antipati dan sinisme oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Dalam pandangan penulis ada satu
permasalahan utama mengapa hal ini terjadi, yaitu adanya penyempitan makna
pergerakan mahasiswa menjadi hanya sekedar melakukan demonstrasi dan aksi-aksi
protes saja. Demonstrasi menjadi trademark bahkan sebagian pihak menganggap
bahwa pergerakan mahasiswa tanpa demonstrasi bukan merupakan pergerakan
mahasiswa, padahal sesungguhnya demonstrasi merupakan bagian kecil dari
pergerakan mahasiswa.
Para pendukung demonstrasi mungkin
dapat membela diri bahwa demonstrasi merupakan aksi yang berhasil menurunkan
Soekarno dan Soeharto dari tampuk kekuasaan. Tetapi kita harus melihat bahwa
pada era tersebut baik Rezim Soekarno dan Soeharto merupakan pemimpin otoriter
yang bebal terhadap kritik, dan lebih buruknya hal ini didukung pula oleh
pejabat-pejabat tinggi di sekitarnya. Maka tiada jalan lagi di kala itu bahwa
mahasiswa dalam melakukan pergerakan harus melalui demonstrasi, mengingat akses
ke media di sensor dan pejabat-pejabat enggan ditemui untuk melakukan diskusi
dan sekedar tukar pendapat. Namun harus diingat bahwa era ini sudah berlalu.
Saat ini Indonesia sudah memasuki era demokrasi, meskipun sebagian pejabat
Indonesia tidak kooperatif masih ada pejabat-pejabat yang terbuka menerima
diskusi, kritik maupun saran dari mahasiswa. Akses ke media pun sudah dibuka
seluas-luasnya, semua orang bisa mengirimkan pendapatnya ke media tanpa ancaman
sensor. Lalu ada alasan apa lagi bagi mahasiswa untuk terus menerus menjadikan
demonstrasi sebagai simbol dari pergerakannya? Tidak lain adalah untuk
menyadarkan kepada masyarakat bahwa ada masalah di dalam negara ini yang harus
dibenahi, tetapi apakah hal ini efektif?, banyak demonstrasi yang dilakukan
hanya oleh 100-200 orang dengan isu-isu yang tidak jelas dan tanpa penjelasan
yang jelas pula kepada masyarakat.
Demonstrasi dalam skala kecil
semacam ini hanya menghabiskan waktu dan membuat kemacetan, menghabiskan waktu
karena sesungguhnya isu yang mereka sampaikan tidak didengar oleh pihak-pihak
yang mereka datangi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Walaupun tidak bisa
dipungkiri bahwa terkadang demonstrasi adalah bagian dari pergerakan mahasiswa
dan dapat dilakukan jika memang itulah yang benar-benar dibutuhkan bangsa ini.
Tetapi hal ini harus dilakukan dengan prasyarat bahwa dilakukan dalam skala
besar, momentum yang tepat, didukung basis ilmiah yang kuat dan pemerintah
memang tidak dapat menerima kritik dan masukan yang ada. Itulah syarat untuk
melegalisir keberadaan demonstrasi, yang idealnya adalah senjata terakhir bagi
mahasiswa dalam bergerak dan berjuang.
Tetapi mari hadapi fakta, kebanyakan
demonstrasi dilakukan dalam skala kecil, tidak didukung basis ilmiah yang kuat
dan tidak benar-benar menyentuh akar permasalahan masyarakat. Inilah realita
pergerakan mahasiswa saat ini, akibatnya adalah mahasiswa-mahasiswa pintar dan
memiliki intelektualitas tinggi cenderung menghindar dari aksi-aksi semacam
ini. Para mahasiswa ini memilih berfokus pada pelajaran, mengikuti
kegiatan-kegiatan sosial atau mengembangkan bakatnya. Tanpa dipimpin dan
didukung mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kemampuan intelektual maka
pergerakan mahasiswa akan sia-sia dan kehilangan esensinya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk
mengubah kondisi ini? Kunci dari semua ini adalah satu : Reformasi Pergerakan
Mahasiswa. Jika selama ini mahasiswa mendesak reformasi, maka saat ini
mahasiswalah yang seharusnya mereformasi dirinya sendiri. Pergerakan mahasiswa
harus dikembalikan menjadi berdasar pada akal sehat. Demonstrasi-demonstrasi ke
depannya harus didukung dengan berbagai data dan bukti yang kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu seluruh Mahasiswa di Indonesia harus mau
membuka diri dan membuka mata bahwa Pergerakan Mahasiswa bukan hanya
demonstrasi. melainkan demonstrasi adalah bagian kecil gerakan mahasiswa itu
sendiri.
Pergerakan mahasiswa ke depan dalam
opini penulis adalah suatu gerakan yang menitikberatkan pada kegiatan diskusi,
kegiatan advokasi, dan kegiatan sosial. Kegiatan diskusi adalah dasar dari
segala pergerakan mahasiswa. Layaknya Hatta yang memimpin kelompok diskusi yang
membahas perjuangan bangsa Indonesia, maka itulah yang harus ditiru oleh
mahasiswa saat ini, mahasiswa harus melakukan diskusi menyeluruh mengenai apa
yang menjadi masalah dasar dari negara ini.
Dari diskusi ini, maka masalah ini
harus disuarakan ke dalam forum-forum terbuka agar masyarakat tahu dan paham
apa yang menjadi perhatian mahasiswa saat ini. Harus diingat bahwa forum
terbuka disini bukanlah demonstrasi, melainkan harus diutamakan
penulisan-penulisan di koran maupun audiensi dengan pejabat terkait. Tetapi
peran mahasiswa tidak boleh berhenti sampai disitu, mahasiswa harus mampu
memikirkan solusi apa yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah-masalah
bangsa. Analisa masalah dan penciptaan solusi tidak mungkin ada tanpa diskusi,
maka hal inilah yang mendasari mengapa peran diskusi sangat penting dalam
reformasi pergerakan mahasiswa.
Beranjak dari solusi yang ada, maka
mahasiswa harus memilah mana saja solusi yang dapat dilakukan sendiri dan mana
yang harus diperjuangkan ke pemerintah. Solusi yang dapat dilakukan oleh
mahasiswa inilah yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan sosial dimana
mahasiswa dapat turun tangan membantu masyarakat melalui berbagai program
seperti community service, menjadi pengusaha yang dapat membuka lapangan kerja,
menciptakan teknologi baru maupun program-program lain yang dapat menaikkan
kesejahteraan masyarakat.
Sementara solusi yang harus
diperjuangkan ke pemerintah bisa melalui jalur advokasi. Jalur advokasi ini
sekali lagi bukan hanya demonstrasi, mahasiswa dapat membuat tulisan-tulisan
yang mengkritik ataupun memberi solusi kepada pemerintah di berbagai media
massa, mahasiswa pun harus menghilangkan stigma bahwa mereka harus menjauhkan
diri dari para pemegang kekuasaan. Sebaliknya mahasiswa harus membuka diri dan
membuat jaringan-jaringan lobi terhadap pemegang kekuasaan, sehingga dalam
menyampaikan kritik dan saran akan bisa langsung disampaikan kepada pihak-pihak
yang berwenang.
Satu hal yang harus diingat
mahasiswa bahwa pemerintah tidak dapat menyelesaikan masalah di Negara ini
seorang diri dan mahasiswa pun tidak dapat menyelesaikan semua masalah negara
ini. Maka perlu ada kerjasama yang erat antara mahasiswa dan pemerintah dalam
membangun bangsa. Mahasiswa sudah semestinya menjadi mitra kerja sekaligus
pengawas pemerintah yang melakukan check & balance agar tercipta
pemerintahan yang bersih dan sehat.
Perubahan paradigma ini tentu tidak
dapat diterima dengan mudah oleh beberapa pihak, tetapi percayalah tanpa
reformasi maka pergerakan mahasiswa akan mati. Mati karena tampaknya dalam
beberapa tahun terakhir ini sebagian orang yang menyebut dirinya aktivis telah
mengalami euphoria kekuasaan tanpa mereka sadari, mereka merasa bahwa mahasiswa
adalah penyuara kepentingan masyarakat dan merupakan kekuatan yang dapat
menumbangkan pemerintahan. Pemikiran inilah yang tanpa sadar justru melemahkan
pergerakan mahasiswa saat ini, karena sesungguhnya sebagian aktivis mahasiswa
tidak lagi membawa kepentingan masyarakat, yang mereka suarakan tidak lebih
dari opini pribadi mereka atau pemberitaan media massa tanpa melihat langsung
realita di lapangan. Maka dari itu pergerakan mahasiswa saat ini telah
mengalami delegitimasi dari masyarakat. Sadarlah mahasiswa! Reformasi
pergerakan mahasiswa adalah sebuah keniscayaan, pilihannya hanya dua, reformasi
atau mati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar